JAKARTA, HUMAS MKRI - Prima Facie adalah sebuah istilah hukum dalam penanganan permasalahan yang tidak biasa (dalam hal ini Covid-19) berdasar hukum darurat. Pada keadaan ini, konstitusi memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk membuat aturan yang dapat saja dipaksakan agar kembali pada situasi normal. Maka, pemerintah dapat saja mengeluarkan peratuan tanpa adanya persetujuan parlemen guna mengatasi suatu keadaan luar biasa untuk menghadapi pandemi seperti yang sedang berlangsung di beberapa negara di dunia.
Demikian keterangan yang dijelaskan Maruarar Siahaan selaku Ahli Bidang Hukum yang dihadirkan Pemerintah dalam sidang perkara pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (UU 2/2020), Kamis (29/4/2021). Sidang ke-10 ini digelar untuk tujuh nomor perkara sekaligus, yakni Nomor 37/PUU-XVIII/2020, Nomor 42/PUU-XVIII/2020, Nomor 43/PUU-XVIII/2020, Nomor 45/PUU-XVIII/2020, Nomor 47/PUU-XVIII/2020, Nomor 49/PUU-XVIII/2020, dan Nomor 75/PUU-XVIII/2020.
Lebih lanjut Maruarar mengungkapkan bahwa dalam konstitusi dunia sekalipun terdapat ketentuan dalam pemberian kewenangan terhadap keadaan darurat yakni dengan adanya lima penyesuaian yang dapat dilakukan untuk mengembalikan keadaan sebagaimana sebelumnya. Salah satunya, pemberian kekuasaan luar biasa terhadap eksekutif dengan tetap berpedoman pada unsur pokok berupa sifatnya yang sementara, pengakuan sifat khusus dari keadaan darurat, pengangkatan constitutional dictatorship atau kediktatoran konstitusional dalam bentuk konstitusional yang memisahkan dan menyatakan keadaan darurat dan mereka yang menjalankan keadaan darurat, dan pengangkatan terjadi untuk tujuan-tujuan yang terinci dan terbatas.
“Jadi, secara umum, kewenangan luar biasa tersebut haruslah bersifat sementara,” kata Maruarar yang pernah menjabat sebagai hakim konstitusi pada 2003–2006 lalu.
Sementara itu berkaitan dengan rujukan yang dapat dipedomani dalam membentuk norma yang tidak tertulis dalam konstitusi, sambung Maruarar, maka asas kebutuhan menjadi suatu alat yang dapat dimanfaatkan dalam keadaan darurat saat terjadinya pandemi. Namun permasalahan yang dihadapi Indonesia hingga saat ini adalah menyoal kegentingan memaksa. Dapat diartikan bahwa adanya keadaan bahaya karena undang-undang tidak mengatur secara rinci makna sesungguhnya.
Hal ini juga sejalan dengan belum dibahasnya oleh MK dalam Putusan Nomor 138/PUU-XVII/2009 dan hanya menyatakan kegentingan memaksa bermakna kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah berdasarkan undang-undang, undang-undang yang dibutuhkan belum ada, dan terjadinya kekosongan hukum.
“Maka, sudah dapat dimengerti apa kegentingan memaksa yang dimaksud dengan lahirnya Perppu yang telah disahkan menjadi undang-undang oleh DPR ini,” sampai Maruarar.
Batas Waktu dan Pencabutan Kewenangan
Berikutnya Maruarar mengulas mengenai salah satu kewenangan pemerintah akibat krisis atau keadaan darurat. Yakni, adanya batas waktu dan pencabutan kewenangan dalam keadaan darurat ketika keadaan sudah pulih. Oleh karena itu, ketika Perppu disetujui menjadi UU a quo dari law in crisis menjadi law in normalcy, maka dalam pandangan Maruarar hal ini secara Prima Facie adalah konstitusional. Sebab, jika tidak diambil tindakan yang segera maka akan terjadi kematian yang luar biasa. Jika kondisi demikian terjadi maka pemerintah dapat saja dikatakan telah gagal menjalankan amanah konstitusi dan melindungi segenap bangsa secara menyeluruh.
“Maka UU 2/2020 adalah konstitusional dan berdasarkan pada UUD 1945, yang harus dibedakan karena ia lahir dalam keadaan bahaya. Jika tidak maka akan menimbulkan krisis dan membahayakan eksistensi negara. UU 2/2020 ini konstitusional sepanjang normanya berlaku sampai berakhirya krisis,” jelas Maruarar dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK.
Baca Juga…
Sejumlah LSM dan Peneliti Menguji UU Covid-19
Pemohon Uji UU Covid-19 Pertegas Argumentasi Permohonan
Guratan Tanda Tangan Mencurigakan dalam Uji UU Covid-19
Dana Desa Ditunda, Dua Kepala Desa Gugat UU Covid-19
Sri Mulyani: UU Penanganan Covid Justru untuk Melindungi Masyarakat
Abdul Chair Ramadhan: UU Penanganan Covid-19 Menyalahi Sistem Hukum Pidana
Saksi: Rumah Sakit Rujukan Covid-19 Minim Fasilitas
Ahli Pemohon: UU Penanganan Covid-19 Salahi Pembentukan Peraturan UU
Sebagaimana diketahui, permohonan Nomor 37/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), serta Pemohon perorangan yaitu Desiana Samosir, Muhammad Maulana, dan Syamsuddin Alimsyah. Alasan para Pemohon melakukan pengujian formil UU Penanganan Covid-19 pada prinsipnya meliputi dua argumentasi. Pertama, tidak dilibatkannya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam proses pembahasan untuk menentukan apakah Perpu tersebut disetujui atau tidak. Kedua, rapat virtual yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berpotensi tidak dihadiri secara konkret oleh anggota DPR.
Sedangkan Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020, Iwan Sumule dan 49 Pemohon lainnya selaku aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) mendalilkan, apabila UU Penanganan Covid-19 berikut lampirannya diberlakukan untuk seterusnya, maka ke depan tidak akan lagi ada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) yang selalu dibahas secara bersama-sama antara Pemerintah dengan DPR, karena Presiden dapat mengubah postur dan/atau rincian APBN dan menetapkan perubahan tersebut secara sepihak hanya berdasarkan Peraturan Presiden. Sedangkan amanat Konstitusi dalam Pasal 23C UUD 1945 menyatakan segala sesuatu yang berkaitan dengan keuangan negara diatur dengan Undang-Undang, bukan dengan Peraturan Presiden.
Berikutnya Pemohon Perkara 43/PUU-XVIII/2020, Ahmad Sabri Lubis dan 9 Pemohon lainnya sebagai perorangan warga negara Indonesia mendalilkan bahwa Perpu No. 1/2020 yang telah diundangkan melalui UU No. 2/2020 mengandung ketidakjelasan tujuan terkait dengan syarat “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” dan lebih diarahkan kepada kepentingan Pemerintah untuk menetapkan batas defisit anggaran melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Tahun Anggaran 2023.
Kemudian Pemohon Perkara 45/PUU-XVIII/2020 atas nama Sururudin mendalilkan, Pasal 2 dan Pasal 12 ayat (2) UU Penanganan Covid-19 dapat ditafsirkan memberikan kekuasaan yang begitu besar kepada Presiden/Pemerintah untuk mengatur keuangan negara tanpa melibatkan DPR sejak 2020-2023. Hal ini justru bertentangan dengan ruang lingkup yang diatur dalam Bab I Pasal 1 undang-undang a quo. Ruang lingkup undang-undang ini sudah jelas mengatur mengenai kebutuhan negara dalam menyelenggarakan pemerintahan diperlukan APBN Tahun 2020. Namun justru dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk dapat leluasa tanpa melibatkan DPR mengatur keuangan negara sampai pada 2023.
Pemohon perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 Triono dan 26 Pemohon lainnya yang menjabat sebagai kepala desa dan anggota badan permusyawaratan desa, mendalilkan bahwa mereka sangat memahami kondisi wabah Covid-19 sehingga pengalihan sampai penundaan dana desa pun tidak masalah. Namun, hal tersebut menjadi masalah ketika muncul ketentuan dana desa dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (8) Lampiran UU Penanganan Covid-19. Dalam Pasal 2 ayat (1) huruf i UU Penanganan Covid-19, tidak ada keterangan bahwa pada kondisi pandemi Covid-19, pemerintah pusat akan meniadakan dana desa. Yang diatur hanyalah kewenangan pemerintah melakukan penyesuaian, pemotongan dan penundaan, bukan meniadakan.
Pemohon perkara Nomor 49/PUU-XVIII/2020 adalah Damai Hari Lubis selaku advokat. Damai mempermasalahkan penggunaan anggaran dalam Perpu a quo adalah melalui APBN sehingga harus mengacu pada prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 khususnya mengenai prinsip terbuka dan bertanggung jawab dalam penggunaan APBN untuk kesejahteraan rakyat, yang tidak boleh dimaknai dalam kondisi pengecualian tetapi harus dimaknai dalam kondisi apapun. Damai berpandangan, diberlakukannya ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Penanganan Covid-19 telah menutup pertanggungjawaban pejabat publik dalam penggunaan uang negara yang mengakibatkan terjadinya kemunduran hukum, karena sebelumnya telah diberlakukan aturan-aturan dengan prinsip terbuka dan bertanggung jawab.
Selanjutnya permohonan perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh 47 Pemohon, di antaranya M. Sirajuddin Syamsuddin, Sri Edi Swasono, HM. Amien Rais. Para Pemohon antara lain mendalilkan pengajuan dan persetujuan DPR terhadap Perpu 1/2020 menjadi UU 2/2020 dilakukan dalam masa sidang DPR yang sama, tepatnya pada masa sidang ke-III. Menurut para Pemohon, proses penerimaan dan persetujuan tersebut bertentangan dengan Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.” Seharusnya, apabila DPR menerima Perpu 1/2020 pada masa sidang III, maka persetujuan atau penolakan terhadap Perpu 1/2020 dilakukan pada masa sidang IV, sehingga para Pemohon beranggapan UU 2/2020 beralasan hukum untuk dibatalkan secara keseluruhan. Selain itu, menurut para Pemohon, berdasarkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, seharusnya DPD ikut membahas Perpu 1/2020, dikarenakan isinya terkait perimbangan keuangan pusat dan daerah, namun dalam faktanya DPR membahas tanpa DPD.
Penulis: Sri Pujianti.
Humas: Fitri Yuliana.
Editor: Nur R.