JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan pada Rabu (28/4/2021). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 14/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Rowindo Hatorangan Tambunan yang hadir secara daring.
Pemohon melakukan pengujian materiil Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan Kesehatan) yang menyebutkan bahwa pemerintah pusat menetapkan dan mencabut kedaruratan kesehatan masyarakat.
Pasal a quo merugikan hak konstitusionals saya sebagai warga negara terkait pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta pada 10 April 2020, kata Rowindo kepada Panel Hakim Konstitusi yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Hal itulah yang mengakibatkan Pemohon tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari karena tempat usaha Pemohon ditutup. Pemohon juga tidak dapat melakukan ibadah karena tempat ibadah ditutup. Selain itu Pemohon tidak dapat menyekolahkan keponakannya karena sekolah juga ditutup.
Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 380 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada tanggal 9 April 2020.
Menurut Pemohon, sejak adanya pandemi Covid-19, rasa keadilan Pemohon dan keluarganya merasa terusik dan dirugikan. Begitu juga dengan masyarakat yang merasa banyak dirugikan dalam segala hal. Pemerintah Indonesia beserta media mainstream dalam negeri nampak tidak memiliki imunitas terhadap kesimpangsiuran dan disinformasi yang tersebar terkait Covid-19. Hal inilah yang kemudian menggiring pemerintah Indonesia mengambil kebijakan berdasarkan rasa panik yang disebabkan oleh kesimpangsiuran dan disinformasi.
Pemohon beranggapan, kebijakan yang diambil pemerintah berdasarkan rasa panik ini kemudian menyebabkan diberlakukannya peraturan PSBB (lockdown) yang berujung pada terusiknya rasa keadilan Pemohon. Namun menurut Pemohon, bila keputusan penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat akibat Covid-19 diambil berdasarkan kedaulatan rakyat, maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dengan diberlakukan PSBB tidak akan terjadi.
Nasihat Hakim
Hakim Konstitusi Saldi Isra menyoroti permohonan secara keseluruhan. Latar belakang masalah dalam permohonan dinilai Saldi terlalu panjang.
“Latar belakang itu Bapak konstruksikan seperti permohonan, karena permohonan yang Bapak buat seperti makalah. Hal paling penting yang perlu Bapak jelaskan, mengapa Pasal 10 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2018 bertentangan dengan UUD 1945, ujar Saldi.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo menasehati Pemohon lebih menyederhanakan alasan permohonan. Karena alasan permohonan terlalu panjang, terkesan banyak pengulangan. Sebenarnya yang dipermasalahkan Bapak, apakah isi pasalnya atau jenis kedaruratannya melalui penetapan pemerintah dengan memberlakukan status PSBB di Jakarta, kata Suhartoyo.
Sedangkan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menanggapi ketidakpastian dan tuntutan Pemohon akibat pemberlakuan PSBB di Jakarta. Dalam pandangan Manahan, belum terlihat ada hubungan antara apa yang dipersoalkan Pemohon dengan norma yang diuji oleh Pemohon. Di satu sisi, Pemohon mempersoalkan norma yang merupakan kewenangan pemerintah pusat. Di sisi lain, Pemohon menginginkan keputusan penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat akibat Covid-19 diambil berdasarkan kedaulatan rakyat. Manahan juga menasehati Pemohon agar lebih menguraikan kerugian konstitusional.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Humas: Lambang TS.
Editor: Nur R.