JAKARTA, HUMAS MKRI Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) secara virtual pada Rabu (28/4/2021). Pemohon Perkara Nomor 13/PUU-XIX/2021 ini adalah Elok Dwi Kadja.
Di awal persidangan, Ketua Panel Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan bahwa isu konstitusional yang diujikan Pemohon adalah Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. Sedangkan batu ujinya adalah Pasal 28J Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945. Arief mengingatkan kepada Pemohon agar menelaah putusan MK dalam pengujian pasal yang sama.
“Tolong dicermati, Mahkamah pernah menguji pasal itu dengan landasan konstitusional seperti itu. Mahkamah dalam Perkara Nomor 48/PUU-VIII/2010 pernah persis menguji penjelasan pasal itu dengan landasan pengujian pasal yang sama dan perkara itu sudah diputus. Atas dasar itu, Mahkamah bisa mengatakan ini nebis in idem. Bisa saja diuji dengan landasan pengujian yang lain dan posita yang lain, kata Arief.
Selanjutnya, Muhammad Sholeh selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan pokok-pokok permohonan. Sholeh mengatakan, Pemohon adalah seorang advokat yang tinggal di Surabaya. Pemohon berkepentingan menguji berlakunya Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. Alasannya, pasal tersebut memberikan kebebasan kepada siapapun boleh membuat atau mengabadikan pornografi untuk kepentingan sendiri melalui video maupun foto. Walaupun sebenarnya dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi sudah jelas memberikan larangan membuat konten pornografi, tapi Penjelasan Pasal 4 ayat UU Pornografi mengecualikan pembuatan konten pornografi untuk kepentingan sendiri. Di sinilah letak kerugian konstitusional Pemohon.
Permohonan ini diilhami dari ramainya kasus Gisella Anastasya yang videonya beredar luas di masyarakat melalui media sosial. Dalam kasus a quo, Gisel tidak mengedarkan videonya, namun Gisel kehilangan HP miliknya yang di dalamnya terdapat video tersebut. Akibat HP Gisel hilang, maka video itu tersebar luas, ujar Sholeh.
Dengan demikian menurut Pemohon, karena dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi mengecualikan orang yang membuat video maupun foto untuk kepentingan sendiri, maka tidak bisa dipidana. Jika mengacu pada Penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut, maka artis Gisella Anastasya tidak bisa dipidana.
Makna membuat tidak termasuk untuk dirinya sendiri, sangat bias, bisa juga diartikan seseorang merekam orang lain sedang mandi tanpa sepengatahuan yang direkam, karena merekam a quo untuk kepentingan sendiri tidak diedarkan untuk orang lain, berarti apa yang dilakukan oleh orang tersebut mendapat perlindungan oleh penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi, selama orang yang menjadi objek konten pornografi tidak mempermasalahkannya.
Kepentingan Pemohon terhadap pengujian ini bukan semata-mata permasalahan kasus Gisella Anastasya, tapi lebih pada menjaga moral anak bangsa, supaya ke depan masyarakat tidak disuguhi tontonan konten pornografi. Menurut Pemohon, ketentuan penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi sama halnya memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk membuat konten pornografi yang penting untuk kepentingan sendiri. Hal ini tentu akan berdampak secara meluas kepada siapapun diperbolehkan mengabadikan konten pornografi untuk dirinya sendiri.
Kerugian konstitusional Pemohon dengan berlakunya Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Pemohon juga mempunyai anak maupun saudara yang bisa saja akhirnya juga menonton video berkonten pornografi dari siapapun dan media sosial yang berisi konten pornografi, ungkap Sholeh.
PMK Terbaru
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menasehati Pemohon agar membaca hukum acara pengujian undang-undang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pengujian Undang-Undang di MK. PMK terbaru ini dapat diunduh di laman MK.
Sekarang kalau mau melakukan pengujian undang-undang, hukum acara pengujian undang-undang di MK ada dalam PMK terbaru itu. Baik pengujian formil maupun materiil. Tolong dicermati, kata Arief kepada Pemohon yang juga hadir secara daring.
Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan agar Pemohon mengubah dasar hukum maupun alasan permohonannya sehingga terdapat perbedaan dengan perkara yang diputus sebelumnya. Baik dasar hukum dan alasan permohonan harus bisa membedakan dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah. Itu yang paling substansial. Kalau mengenai sistematika permohonan, sudah baik, ucap Enny.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mencermati penulisan kata dalam permohonan agar lebih cermat. Misalnya penulisan kata public yang dalam bahasa Indonesia sudah dituliskan dengan kata publik. Kata public harus dimiringkan dalam penulisan. Termasuk beberapa kesalahan ketik yang ditemukan Daniel dalam permohonan Pemohon.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Humas: Muhammad Halim.
Editor: Nur R.