JAKARTA, HUMAS MKRI - Sejumlah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari sejumlah kementerian mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) terhadap UUD 1945. Sidang pertama dari perkara Nomor 15/PUU-XIX/2021 ini digelar di Ruang Sidang Panel MK pada Rabu (28/4/2021). Para Pemohon, yakni Cepi Arifiana dan M. Dedy Hardinianto merupakan PPNS dari Kementerian Lingkungan Hidup, sedangkan Garribaldi Marandita dan Mubarak merupakan PPNS dari Kementerian Perikanan dan Kelautan.
Ichsan Zikry, salah satu kuasa hukum para Pemohon menyebutkan Penjelasan Pasal 74 UU TPPU bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Penjelasan Pasal 74 UU TPPU berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘penyidik tindak pidana asal’ adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya”.
Menurut para Pemohon, norma tersebut telah membatasi penyidik asal yang berwenang menyidik tindak pidana pencucian uang hanya sebatas pada penyidik dari enam instansi. Selain itu, para Pemohom juga menilai norma a quo juga berakibat pada terjadinya pembedaan perlakuan terhadap pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang dan pihak yang diduga melakukan tindak pidana pencucian uang. Dalam perkara ini, para Pemohon yang merupakan PPNS mendapatkan perlakuan yang tidak sama dengan Kepolisian, KPK, BNN dan lainnya untuk melakukan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari seluruh tindak pidana pencucian uang kepada seluruh PPNS.
Sebagai contoh, dalam permohonannya, para Pemohon menggambarkan ketika anggota TNI diduga melakukan tindak pidana pencucian uang, maka terhadapnya tidak dapat dilakukan proses peradilan pidana. Sebab, pihak yang berwenang melakukan hal demikian adalah atasan yang berhak menghukum, polisi militer, dan oditur militer. Sementara ketiga pihak tersebut tidak termasuk dalam penyidik yang berwenang untuk menyidik dugaan tindak pidana pencucian uang dalam Penjelasan Pasal 74 UU TPPU.
“Hal ini menurut para Pemohon dapat menimbulkan permasalahan terkait kewenangan penyidikan karena tidak ada kewenangan bagi PPNS untuk melakukan penyidikan terhadap anggota TNI,” kata Zikry pada Panel Hakim secara daring.
Alasan berikutnya, sambung Zikry, Pasal 74 UU TPPU dan Penjelasannya menghambat upaya pemberantasan dan pencegahan tindak pidana pencucian uang dan bertentangan dengan tujuan dari pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman. Pemohon mendalilkan tegaknya hukum dan keadilan tercermin dari dilaksanakannya asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman berupa peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Artinya, apabila penyidik tindak pidana asal yang diemban PPNS tidak memiliki wewenang menyelidiki tindak pidana pencucian uang saat melakukan penyidikan atas tindak pidana yang berada dalam ruang lingkup kewenangannya, maka penyidik tersebut hanya memiliki pilihan untuk menyampaikan temuannya ke penyidik kepolisian. Konsekuensi dari hal ini, dimulainya proses baru atas dugaan tindak pidana pencucian yang telah diusut. Pengulangan rangkaian proses penyidikan ini, tidak dapat dihindari demi kesesuaian proses pencarian fakta.
“Namun apabila penyidik asal dapat langsung menindaklanjuti temuannya, maka yang perlu dilakukan oleh penyidik kepolisian adalah sebatas menerima permintaan koordinasi dan melakukan pengawasan terhadap penyidik tindak pidana asal sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana,” urai Zikry.
Untuk itu, dalam Petitumnya, Pemohon meminta agar Penjelasan Pasal 74 UU TPPU sepanjang kalimat “Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat atau instansi yang oleh peraturan perundang-undangan diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan”.
Sistematika Permohonan
Terkait permohonan ini, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan agar para Pemohon perlu dilakukan pencermatan atas aturan-aturan terbaru dalam hukum beracara di MK, di antaranya PMK 2/2021 yang saat ini digunakan sebagai pedoman dalam persidangan di MK. Berikutnya, Wahiduddin mengatakan agar para Pemohon perlu menyempurnakan sistematika permohonan yang berlaku di MK, seperti bagian pendahuluan tidak lazim ada pada permohonan sehingga hal demikian dapat dimuat dalam alasan-alasan permohonan.
Selain itu, Wahiduddin juga mencermati kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon yang merupakan PNS dan juga merangkap Penyidik perlu kembali diperjelas dengan membuat keterkaitan norma dan posisi para Pemohon sebagai pihak yang harus mengabdi pada negara tetapi ketentuan norma a quo menghalangi tugas tersebut. “Jadi kerugian konstitusionalnya apakah faktual atau potensial,” terang Wahiduddin dalam sidang yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Berikutnya, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul mengulas mengenai perlu bagi para Pemohon untuk kedudukan hukum perlu menambahkan SK dari para Pemohon yang merupakan PNS dan PPNS. “Hal ini agar menjadi konkret bahwa para Pemohon memiliki kerugian konstitusional yang nyata dialaminya serta memperoleh legal standing dalam perkara ini,” jelas Manahan.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam nasihatnya, menyarankan para Pemohon untuk melakukan elaborasi argumentasi mengenai keberlakuan Pasal 74 UU TPPU dan Penjelasannya yang menyebabkan kerugian konstitusional para Pemohon berupa adanya pembatasan lingkup kerja PPNS. Ia meminta para Pemohon menguraikan alasan penerapan pasal tersebut membatasi PPNS karena harus melimpahkan perkara yang diselidikinya kepada instansi yang diberikan kewenangan oleh norma a quo.
Berikutnya, Suhartoyo meminta risalah dari pembahasan UU a quo pada masa pembuatannya. “Hal ini perlu untuk melihat gambaran pembahasannya sehingga bisa ada perbedaan antara pasal induk dan penjelasan pasalnya,” sebut Suhartoyo.
Para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonannya. Atas hal ini, para Pemohon dapat menyerahkan naskah perbaikan permhonan setelah diinformasikan oleh Kepaniteraan mengenai agenda persidangan berikutnya. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Andhini SF