JAKARTA, HUMAS MKRI - Rega Felix yang berprofesi sebagai advokat mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perkara Nomor 12/PUU-XIX/2021 ini digelar di Ruang Sidang Panel MK pada Rabu (28/4/2021).
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, Rega mendalilkan Pasal 23 ayat (1) UUPA bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 23 ayat (1) UUPA menyatakan, “Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksudkan dalam pasal 19”. Sementara Pasal 23 ayat (2) UUPA berbunyi, “Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut”.
Rega yang hadir tanpa kuasa hukum menjelaskan kedua pasal tersebut berpengaruh terhadap praktik perbankan syariah karena dalam melakukan transaksi perbankan syariah, tanah dapat menjadi objek transaksi, baik peralihannya atau pembebanan terhadap hak atas tanah yang menjadi underlying transaksinya. Maka, ketentuan demikian juga berlaku untuk menjalankan transaksi di perbankan syariah. Menurutnya, ia berhak menggunakan layanan perbankan syariah sebagai wujud keyakinannya. Oleh karenanya, Pemohon mengajukan fasilitas pembiayaan ke bank syariah berdasarkan Akad Murabahah. Namun, adanya norma a quo, dalam transaksi perbankan syariah mensyaratkan adanya peralihan hak atas aset yang dibiayai.
Sebagai ilustrasi, Rega menyampaikan dalam kasus konkret yang dialaminya saat mengajukan pembiayaan Murabahah untuk pembelian tanah. Untuk pengembangan usahanya, ia pun melakukan kembali pengajuan pembiayaan pada pihak bank. Atas hal ini, ia harus melakukan konversi akad yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam hal ini, Pemohon harus menjual tanah yang sudah dibeli kepada pihak bank dan kemudian bank akan menyewakan tanah tersebut kepadanya dengan janji bahwa di akhir masa sewa akan dihibahkan kepada Pemohon.
Dari skema ini, Rega melihat banyak sekali peralihan hak milik yang terjadi, bahkan mencapai 4 kali proses balik nama dalam satu transaksi. Hal ini menjadi beban yang berat karena harus menanggung biaya yang tinggi dan proses yang lama.
“Dengan demikian terdapat dua kali pembuatan akta jual beli oleh PPAT dan dua kali balik nama serta dua kali pembayaran pajak peralihan hak. Akibatnya, proses lama dan biaya yang tinggi dan akhirnya Pemohon enggan ke bank syariah,” jelas Rega yang mengikuti sidang secara virtual.
Atas kejadian ini, Pemohon menilai negara wajib menjamin transaksi yang dilakukan perbankan syariah telah memiliki landasan hukum yang kuat agar hak konstitusionalnya yang terdapat dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tidak terlanggar oleh keberlakuan norma a quo.
Konstitusionalitas Norma
Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam nasihat Mahkamah meminta agar Pemohon membaca dengan saksama norma yang diujikan, terutama terkait dengan hak atas tanah. Mengingat persoalan yang dihadapi Pemohon adalah kesulitan dalam mendapatkan permodalan yang banyak terkait dengan UU Perbankan Syariah. Untuk itu, diharapkan Pemohon dapat kembali menelaah pengkajian sehubungan dengan konstitusionalitas norma dalam permasalahan ini dengan memberikan argumentasi bahwa pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Berikutnya, Enny meminta agar Pemohon membaca permohonan sebelumnya yang pernah diajukan ke MK agar dapat dipedomani dalam menyusun perbaikan permohonan nanti. “Di samping itu dari sisi kedudukan hukum ini juga perlu Anda menguraikan mengenai gambaran kerugian konstitusional yang telah diberikan haknya oleh UUD 1945 dan hak tersebut terlanggarkan akibat berlakunya pasal a quo,” jelas Enny.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dalam nasihatnya menambahkan terkait hal-hal yang perlu menjadi catatan perbaikan dari permohonan Pemohon. Salah satunya mengenai kewenangan Mahkamah yang telah ada perbaruannya serta PMK yang berkaitan dengan hukum acara pun telah mengalami perubahan, sehingga diharapkan pada saat perbaikan hal demikian telah disempurnakan. Selanjutnya, menyinggung tentang kedudukan hukum Pemohon, Daniel menilai masih perlu ditegaskan kembali konstitusionalitas normanya bukan hanya dengan pemaparan kasus konkret yang dialami, tetapi juga pertalian di antara keduanya.
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Manahan memberikan catatan terkait dengan norma-norma terbaru yang berkaitan dengan bagian dari kewenangan Mahkamah. Kemudian, Pemohon juga diharapkan memedomani Putusan MK Nomor 11/2007 yang membahas 5 hal yang harus dielaborasi akan adanya kerugian konstitusional Pemohon. “Dalam posita juga tolong uraikan pertentangan antara UUPA dengan pasal-pasal yang ada dalam UUD 1945,” terang Manahan.
Setelah mendapatkan nasihat dari Mahkamah, Pemohon diharapkan dapat melakukan perbaikan permohonan selama 14 hari sejak berakhirnya sidang hari ini. Untuk kemudian Pemohon dapat menyerahkan perbaikan setelah diinformasikan lebih lanjut oleh Kepaniteraan MK. Setidaknya, Pemohon dapat menyerahkan naskah perbaikan permohonan dua jam sebelum dilakukannya persidangan kedua. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Annisa Lestari