Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menilai kedudukan hukum (legal standing) pemohon uji materi UU Pemilu belum jelas. MK meminta DPD sebagai pemohon agar memperjelas legal standing dalam gugatan uji materi ini.
"Perlu diberikan landasan untuk menunjukkan legal standing dari para penggugat soal badan hukum dari lembaga penggugat. Misalnya masyarakat hukum adat, bagian mana yang terlanggar," ujar anggota majelis hakim I Dewa Gede Palguna.
Hal itu disampaikan Palguna saat memverifikasi pemeriksaan pendahuluan pada sidang perdana judicial review UU no 10 / 2008 tentang Pemilu di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (15/4/2008).
"Sesuai ketentuan UU, ada waktu 14 hari untuk memperbaiki syarat-syarat administrasi dari para penggugat. Terserah mau dipakai semua atau lebih cepat lebih baik," kata Ketua Majelis Hakim H.A.Mukthie Fadjar.
Menurut Muhktie, salah satu yang dipertanyakan majelis hakim mengenai legal standing dari status para penggugat. Baik yang berasal dari DPD, warga daerah, sekretariat nasional masyarakat hukum adat, Cetro, dan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).
Menanggapi majelis hakim, koordinator kuasa pemohon Todung Mulya Lubis akan segera memperbaiki berkas yang disarankan.
"Kami akan melaksanakan perbaikan-perbaikan penyesuaian yang diperlukan, karena kami tidak ingin mengganggu kalender kenegaraan yang sudah dijadwalkan," ujar Todung.
Kuasa hukum pemohon lainnya, Bambang Widjojanto masih optimistis bahwa pengajuan judicial review DPD akan dapat ditemrima MK. Alasannya, UUD 1945 secara tegas menjelaskan bahwa pembentukan DPD untuk representasi daerah, mewakili masyarakat daerah.
DPD minta agar MK membatalkan pasal 12 dan 67 UU 10 /2008. Dalam pasal tersebut mensyaratkan anggota DPD tidak harus berasal dari satu daerah yang diwakilinya. Dalam pasal tersebut juga disebutkan anggota parpol boleh mencalonkan diri sebagai anggota DPD. ( nwk / asy )
Sumber www.detik.com
Foto www.google.co.id