JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) terhadap UUD 1945 pada Selasa (27/4/2021). Perkara yang teregistrasi Nomor 8/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Hendry Agus Sutrisno yang berprofesi sebagai PNS Kota Depok.
Dalam permohonan, Pemohon mendalilkan Pasal 7 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi, ”Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207, dan Pasal 212 harus diajukan seorang advokat.” Menurut Hendry, pasal a quo mengandung makna hanya seorang advokat yang dapat melakukan tindakan hukum. Sementara warga negara lainnya khususnya para kreditor atau debitor yang bukan seorang advokat justru dinilai tidak memiliki kedudukan hukum untuk beperkara di pengadilan.
“Padahal tidak semua warga negara yang memiliki pendidikan Sarjana Hukum diperbolehkan oleh undang-undang untuk menjadi seorang advokat seperti warga negara yang berprofesi sebagai PNS, Polisi, Dosen, dan profesi lain yang tidak diperbolehkan undang-undang untuk rangkap jabatan sebagai advokat,” kata Hendry.
Hendry menyebut dirinya adalah kreditor yang sedang melawan debitor KSP Pandawa Mandiri Grup dan Nuryanto di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Ia menggunakan jasa advokat dalam pengajuan perkara tersebut, tapi kemudian jika perkara kepailitan berakhir dan pihaknya belum mendapatkan pelunasan, maka untuk mendapatkan hak tersebut dirinya harus kembali menggunakan jasa advokat.
“Dengan demikian pasal a quo sangat bersifat diskriminatif dan tidak menjunjung asas kedudukan yang sama di hadapan hukum serta tidak memberikan rasa keadilan bagi Pemohon dan seluruh rakyat Indonesia,” kata Hendry dalam Sidang Panel yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Arief Hidayat sebagai hakim anggota.
Untuk itu, Pemohon meminta pada Mahkamah agar menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Permohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207, dan Pasal 212 harus diajukan seorang advokat atau seorang kreditur dan/atau debitur yang berlatar belakang pendidikan sarjana hukum.”
Sistematika Permohonan
Dalam sidang tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyampaikan nasihat perlu diperhatikan kembali sistematika permohonan, mulai dari kewenangan Mahkamah yang dibuat sederhana hingga kedudukan hukum yang belum menjelaskan dan menunjuk perkara konkret yang dialami Pemohon atas berlakunya norma yang diujikan pada perkara ini.
“Paling tidak ada anggapan secara potensial yang dapat juga diilustrasikan atas peristiwa yang dialami Pemohon ada tidaknya kerugian yang terjadi atas berlakunya norma tersebut,” terang Suhartoyo.
Selain itu, Suhartoyo meminta agar Pemohon juga membaca putusan MK yang berkaitan dengan peradilan pajak sebagai ilustrasi atas ketentuan dalam pengadilan niaga. Dalam pandangan Suhartoyo, hanya ada 5 pengadilan yang ditunjuk di Indonesia, di antaranya Jakarta Pusat, Medan, Surabaya, Semarang, dan Makassar yang dapat menggelar peradilan niaga dan hanya advokat dengan spesifikasi tertentu yang dapat menjadi kuasa dalam berperkara di pengadilan niaga.
Spesialisasi Hukum
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan berkenaan dengan penyusunan kurikulum bidang hukum yang harus diikuti oleh pendidikan hukum sehingga menghasilkan ahli yang mengikuti perkembangan hidup masyarakat yang kian modern dan kompleks dan kecenderungan terspesialisasi. Sehingga pada 1970-an pendidikan hukum menghasilkan sarjana yang dapat mengikuti perkembangan pada zamannya. Kemudian pendidikan hukum semakin terspesialisasi, maka pendidikan hukum hanya memberikan bekal pada lulusannya pada pengetahuan makro mengenai kehidupan hukum, akhirnya muncul spesialisasi seperti perkembangan hukum lingkungan, siber, perbankan, dan lainnya.
“Oleh karena itu, lulusan S1 hanya dibekali hukum-hukum yang pokok, untuk spesialisasi ada bidang hukum selanjutnya. Jadi ini jadi pengayaan Bapak mengenai gambaran dalam kasus ini, salah satu bidang hukum yang terspesialisasi dan super spesialis dan dibutuhkan keahlian khusus yang tujuannya berperan untuk menyelesaikan kasus dengan sebaik-baiknya. Dalam pendidikan ini ada lembaga yang mengadakan pendidikan tertentu, jadi tidak semua sarjana hukum mengikuti perkembangan itu. Ada profesi yang membutuhkan keahlian khusus itu, termasuk masalah kepailitan ini,” terang Arief.
Berikutnya, Arief mencermati perlu bagi Pemohon membaca putusan MK yang berkaitan dengan yang dimaksud diskriminasi. Dalam beberapa putusan MK, disebutkan diskriminasi adalah adanya perlakuan yang tidak sama didasarkan pada pembedaan, seperti jenis kelamin, status sosial, dan lainnya. “Hal ini sehubungan pula dengan ketentuan memilih advokat, apakah termasuk disktriminasi atau tidak ketentuan ini. Ini ada dan disebutkan dalam putusan-putusan MK yang berhubungan dengan makna diskriminasi,” terang Arief.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan agar Pemohon membaca pasal secara keseluruhan dan dasar filosofi dari sebuah norma yang memunculkan suatu ketetentuan tertentu. Untuk itu, Pemohon diharapkan dapat mendalami norma yang diujikan sebelum benar-benar mengajukan pengujian terhadap bagian dari pasal a quo.
Usai mendapatkan nasihat dari Majelis Hakim, Pemohon diharapkan dapat melakukan perbaikan permohonan selambat-lambatnya 14 hari ke depan. Untuk itu, permohonan Pemohon dapat diserahkan setelah diberitahukan lebih lanjut oleh Kepaniteraan MK. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Annisa Lestari