JAKARTA, HUMAS MKRI - Hendry Agus Sutrisno yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil Kota Depok mengajukan permohonan pengujian Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (UU Ombudsman) terhadap UUD 1945. Sidang pertama perkara Nomor 7/PUU-XIX/2021 ini digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (27/4/2021) di Ruang Sidang Panel.
Pemohon menguji Pasal 36 ayat (1) huruf b UU Ombudsman yang menyatakan, “Ombudsman menolak laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a dalam hal: … b. substansi laporan sedang dan telah menjadi objek pemeriksaan pengadilan, kecuali laporan tersebut menyangkut tindakan maladministrasi dalam proses pemeriksaan di pengadilan.” Pasal tersebut dinilai Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28I Ayat (2) dan Ayat (4) UUD 1945.
Dalam pernyataan di hadapan sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo ini, Hendry menyatakan berdasarkan pasal a quo, Ombudsman tidak dapat menerima laporan masyarakat yang substansi laporannya sedang dan telah menjadi objek pemeriksaan pengadilan, termasuk praperadilan kecuali laporan tersebut menyangkut tindakan maladministrasi dalam proses pemeriksaan pengadilan termasuk praperadilan. Sementara itu, kewenangan yang dimiliki oleh lembaga praperadilan hanya terbatas pada memeriksa dan memutus perkara yang diajukan dari aspek formil saja.
Padahal, sambung Hendry, berdasarkan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, kewenangan mengenai aspek materil penerapan pasal tindak pidana terhadap suatu perkara pidana adalah kewenangan sepenuhnya dari penyidik. Akibatnya, tidak ada lembaga selain penyidik yang dapat mengoreksi penerapan pasal pidana terhadap suatu tindak pidana yang diperiksanya. Oleh karena itu, menurut Pemohon, hal ini sangat rawan terhadap penyelewengan hukum dan penyalahgunaan kewenangan.
Hal ini dialami langsung dalam kasus yang dilaporkan Pemohon pada Penyidik Polres Kota Depok. Singkat cerita dari laporan Pemohon, Propam Polres Depok hanya memeriksa terkait laporan kode etik. Sementara laporan Pemohon terkait perubahan pasal tidak diperiksa. Berpedoman pada permasalahan ini, Pemohon menduga adanya perbuatan maladministrasi yang dilakukan Polri. Sehingga, hal tersebut yang menjadi contoh nyata telah terjadinya penyelewengan hukum dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan penyidik Polri yang memiliki kewenangan penuh terhadap penetapan delik pasal pidana yang akan disangkakan kepada pelaku yang diduga melakukan tindak pidana. Namun, tindakan maladministrasi tersebut tidak dapat diperiksa Ombudsman sebagaimana yang telah dilaporkan Pemohon tertanggal 7 Oktober 2020 dan diterima Ombudsman pada 8 Oktober 2020. Alasannya, laporan Pemohon telah diperiksa oleh lembaga praperadilan sebagaimana yang tertuang dalam surat Ombudsman Nomor B/1075/PV.02.03/9016.2020/XI/2020 tanggal 9 November 2020.
“Untuk itu, saya meminta Mahkamah menambahkan frasa pada Pasal 36 ayat (1) huruf b UU Ombudsman, ‘Ombudsman menolak laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a dalam hal: … b. substansi laporan sedang dan telah menjadi objek pemeriksaan pengadilan, kecuali laporan tersebut menyangkut tindakan maladministrasi dalam proses pemeriksaan di pengadilan dan atau menyangkut aspek materil pada pemeriksaan pada praperadilan’ bahwa ketika warga negara melaporkan perkara ke Ombudsman dan sedang dilakukan pula penyidikan perkara di pengadilan, maka Ombudsman tidak bisa menolak permohonan yang diajukan padanya,” tandas Hendry yang menyampaikan ringkasan permohonan dari kediamannya di Depok, Jawa Barat.
Sistematika Permohonan
Terkait permohonan ini, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberi nasihat agar Pemohon mencermati kembali sistematika permohonan, mulai dari kewenangan Mahkamah yang diikuti dengan aturan terbaru, objek perkara yang belum disebutkan bunyi pasal yang dimaksudkan serta pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan pasal penguji, hingga kedudukan hukum Pemohon. Menurutnya, terkait syarat kerugian konstitusional perlu dipertegas kembali pada uraian yang menerangkan hak yang diberikan UUD 1945 yang terlanggar atas keberlakuan norma tersebut.
“Bapak harus uraikan kerugian konstitusional yang dialami dalam kasus konkret yang terjadi dalam bagian kedudukan hukum sehingga terlihat syarat-syarat kerugian konstitusional yang dialami Pemohon atas berlakunya norma tersebut,” saran Enny.
Putusan Terkait
Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh meminta agar Pemohon memperbaiki pada bagian penutup yang dinilai tidak diperlukan dalam sistematika permohonan di MK yang berpedoman pada PMK Nomor 2 Tahun 2021. Selain itu, ia mengingatkan agar Pemohon membaca kembali permohonan terkait norma yang pernah diujikan ke MK pada perkara Nomor 46/PUU-XV/2017 dan 33/PUU-XVII/2019. “Dari putusan ini dapat dibaca dan bisa memberikan inspirasi untuk perbaikan permohonan yang diajukan pada perkara ini,” jelas Daniel.
Terakhir, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta Pemohon untuk mempertegas legal standing yang hanya dijabarkan secara normatif saja. “Penting sekali cantumkan titik tautan antara kerugian dan norma yang diujikan pada bagian legal standing. Untuk bisa masuk pada wilayah permohonan, maka kewenangan Mahkamah dan legal standing itu menjadi sangat utama,” terang Suhartoyo.
Usai mendengar nasihat dari Majelis Hakim, Pemohon diharapkan dapat melakukan perbaikan permohonan selambat-lambatnya 14 hari ke depan. Untuk itu, permohonan Pemohon dapat diserahkan pada Kepaniteraan MK pada Senin, 24 Mei 2021 sebelum pukul 10.00 WIB. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari P.
Humas : Tiara Agustina