JAKARTA, HUMAS MKRI – Restrukturisasi PT Pertamina menjadi salah satu konsekuensi dari berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (UU Migas). Akan tetapi, restrukturisasi yang dilakukan Pemerintah dengan membangun anak-anak perusahaan PT Pertamina tersebut, justru berdampak saham pada anak perusahaan tidak lagi dikuasai oleh negara.
Demikian keterangan yang disampaikan oleh Ugan Gandar selaku Mantan Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FS PPB) dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). Sidang kedelapan dari perkara yang teregistrasi Nomor 61/PUU-XVIII/2020 ini digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (22/4/2021) dengan agenda mendengar keterangan saksi dari Pemohon. Dalam permohonannya, Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB/Pemohon) mendalilkan aturan mengenai privatisasi BUMN sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945.
“Dilakukan restrukturisasi terhadap Pertamina menjadi holding dan subholding yang kemudian langkah berikutnya tentunya akan dilakukan IPO terhadap sub holding-sub holding Pertamina yang merupakan bisnis inti Pertamina seperti PT. Pertamina Hulu Energi, PT. Geothermal Energi, PT. Pertamina Internasional Shipping, PT. Pertamina Power Indonesia, PT. Pertamina Lubricants, dan sebagainya. Dan tentunya akhirnya perusahaan-perusahaan tersebut sahamnya tidak lagi sepenuhnya dikuasai oleh negara,” papar Ugan di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Privatisasi Anak Perusahaan Pertamina
Pemegang Saham Minoritas
Lebih jelas Ugan mengatakan, pada perusahaan yang tergolong subholding dikenal adanya pemegang saham minoritas. Berdasarkan sistem ini, negara tidak dapat serta-merta menentukan sebuah kebijakan tanpa memperhatikan keberadaan pemegang saham minorotas tersebut. Sebab, lanjutnya, hukum perusahaan melindungi keberadaan mereka pada sebuah Perseroan Terbatas. Oleh karena itu, sambungnya, secara entitas bisnis konsekuensi dari perusahaan subholding ini adalah adanya kewajiban pajak setiap ada perpindahan aset atau produk, birokrasi administrasi yang dijalankan, dan lainnya.
“Jika secara koordinasi bisa saja perusahaan subholding tersebut dikendalikan oleh induk holding namun berdasarkan entitas bisnis, memiliki mekanisme hukum tersendiri dari hulu hingga hilir sehingga menjadikannya tidak terintegrasi dengan induk perusahaan,” terang Ugan.
Baca juga: Pemerintah: Penjualan Saham Anak Perusahaan Persero Bukanlah Privatisasi
BBM Satu Harga
Berikutnya Ugan menerangkan terkait ketentuan BBM satu harga yang diitugaskan negara pada PT Pertamina. Menurutnya, ketentuan tersebut adalah suatu hal yang sulit dilaksanakan oleh PT Pertamina. Akan tetapi, sebagai perusahaan negara, kegiatan bisnis ini harus dilakukan PT Pertamina kendati harus menanggung biaya distribusi BBM yang besar terutama pada wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Dalam komponen pendistribusian ini, PT Pertamina harus menyewa pesawat dengan biaya yang sangat besar dengan ongkos angkut mencapai 25.000 – 35.000 rupiah per liter. Kendati mengalami kerugian, PT Pertamina tetap menjalankan tugas pendistribusian ini hingga menyentuh masyarakat Indonesia.
Baca juga: Pertamina: Privatisasi Tidak Bertentangan dengan Konstitusi
Ketentuan BBM satu harga ini, sambung Ugan, cukup sulit dilakukan jika pemegang sahamnya telah meliputi pihak swasta yang cenderung mengutamakan profit dan tidak tertarik pada pendistribusian BBM pada kawasan 3T tersebut. Akan tetapi, PT Pertamina harus tetap mendistribusikan BBM hingga ke pelosok negeri di Indonesia sehingga masyarakat yang berada di wilayah manapun dapat menikmati pelayanan BBM dengan perlakuan yang sama, meski ongkos angkut yang dikeluarkan tidak sesuai. Termasuk ketika kapal yang digunakan untuk distribusi ke daerah 3T ini memuat BBM yang jumlahnya tidak sebanding dengan yang muatan sebenarnya.
“Untuk itu, jika hal ini dianalogikan pada keuntungan bagi pemegang saham yang hanya benar-benar berorientasi keuntungan, maka daerah 3T tersebut dapat saja tidak dapat menikmati BBM dengan harga yang sama dengan daerah lainnya di Indonesia,” jelas Ugan.
Baca juga: Ahli: Pembentukan Subholding Pertamina, Buka Peluang Praktik Unbundling
Kepentingan Pemilik Saham
Dalam keterangannya, Ugan juga mengutarakan perbandingan keuntungan yang diperoleh Pertamina ketika terbagi dalam perusahaan subholding. Sebagai ilustrasi, Ugan mengatakan saat PGN masuk ke bisnis hulu migas yang sejatinya tidak memiliki kompetensi dan justru mendirikan Saka Energi, pada akhirnya Saka Energi pun merugi dan membebani PGN. Pada 2014 ketika Menteri BUMN memerintahkan Direksi Pertamina untuk menyerahkan seluruh saham Pertamina di Pertagas ke PGN dan diakuisisi. Akibatnya, keuntungan yang selama ini dari usaha bisnis Pertagas 100% masuk ke Pertamina, sebagian besar keuntungan tersebut harus diberikan ke publik untuk kepentingan pemilik saham.
“Pertamina semakin terpuruk apalagi pada 2020 ini PGN dikenakan utang dan denda pajak oleh Dirjen Pajak yang cukup besar menggerus laba PGN, sementara PGN sendiri punya kewajiban untuk menjalankan penugasan dari pemerintah untuk membangun jaringan gas,” kata Ugan.
Baca juga: Kurtubi : Pengelolaan Migas oleh Perusahaan Negara Bentuk Monopoli Alamiah
Untuk diketahui, dalam perkara ini Pemohon beranggapan PT Pertamina (Persero) merupakan perusahaan persero yang berdasarkan Akta Perubahan Anggaran Dasar Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina Nomor 27 tanggal 19 Desember 2016 memiliki kegiatan usaha di bidang penyelenggara usaha energi sehingga termasuk perusahaan persero yang dilarang untuk diprivatisasi berdasarkan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN. Bisnis PT Pertamina (Persero) terintegrasi dari hulu ke hilir yaitu mulai proses hulu, pengolahan/kilang/refinery, pemasaran/trading, dan distribusi/transportasi/perkapalan.
Pemohon menilai Pemerintah dalam rangka strategi menguatkan daya saing, peningkatan nilai, perluasan jaringan usaha dan kemandirian pengelolaan BUMN seharusnya dapat membentuk perusahaan induk BUMN/Perusahaan Grup/Holding Company. Salah satu tindakan nyatanya adalah membentuk dan menetapkan Subholding dan Anak Perusahaan PT Pertamina (Persero) sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Direksi Pertamina (Persero) Nomor Kpts-18/C00000.2020-SO tentang Struktur Organisasi Dasar PT. Pertamina (Persero), yaitu Subholding Upstream, Refining, Petrochemical, Comercial, Trading, Gas, Power NRE, dan Shipping Co. Privatisasi telah direncanakan oleh pemerintah yang akan melakukan Initial Public Offering (IPO) kepada anak dan cucu usaha PT. Pertamina Persero di level subholding.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Lambang S