JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang uji materiil dari Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) kembali digelar Mahkamah Konstitusi pada Rabu (21/4/2021). Dalam sidang dengan agenda penyampaian pokok-pokok perbaikan permohonan ini, para Pemohon yakni Dwi Pertiwi (Pemohon I); Santi Warastuti (Pemohon II); Nafiah Murhayanti (Pemohon III); Perkumpulan Rumah Cemara (Pemohon IV), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (Pemohon V); dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) (Pemohon VI) diwakili oleh Erasmus A. T. Napitupulu selaku kuasa hukum.
Sidang kedua dari perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 ini. Erasmus mengutarakan telah memperbaiki kedudukan hukum para Pemohon perorangan, khususnya para ibu yang mewakili para anak yang masih berusia di bawah 12 tahun. Terkait dengan kedudukan hukum LSM yang juga menjadi Pemohon, sambungnya, juga telah dilakukan perbaikan kedudukan hukum para Pemohonnya. “Pada lampiran perbaikan juga telah disertakan AD/ART yang menjelaskan pihak yang berwenang mewakili lembaga di dalam dan di luar pengadilan,” jelas Erasmus yang hadir dalam persidangan secara virtual.
Berikutnya, para Pemohon juga menyampaikan narasi ilmiah sehubungan deegan perbandingan dari negara-negara lainnya di dunia yang menggunakan terapi ganja sebagai bagian dari pengobatan untuk penderita celebral palsy. Di samping itu, para Pemohon juga menjabarkan periode waktu penggunaan narkotika Golongan I untuk membantu pasien dalam proses pengobatan berbagai penyakit yang serupa dengan yang dialami para Pemohon perseorangan pada perkara a quo.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Penggunaan Narkotika Golongan I Untuk Kepentingan Medis
Pada sidang pendahuluan yang digelar pada 16 Desember 2020, para Pemohon mendalilkan jika tiga orang Pemohon perseorangan merupakan para ibu dari anak yang menderita celebral palsy. Dwi Pertiwi, salah seorang ibu yang menjadi Pemohon, terungkap pernah memberikan terapi minyak ganja (cannabis oil) kepada anaknya yang menderita celebral palsy semasa terapi di Victoria, Australia, pada 2016 silam. Akan tetapi, sekembalinya ke Indonesia, Pemohon menghentikan terapi tersebut karena adanya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Narkotika. Begitupula dengan dua orang ibu lainnya yang menjadi Pemohon perkara ini. Adanya larangan tersebut telah secara jelas, menghalangi Pemohon untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak Pemohon.
Sementara kedudukan hukum Perkumpulan Rumah Cemara, ICJR, dan LBHM merupakan organisasi nirlaba yang didirikan dengan tujuan agar masyarakat dapat terpenuhi akses terhadap pelayanan kesehatan. Menurut para Pemohon, penjelasan norma a quo telah mengakibatkan hilangnya hak para Pemohon untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Hak demikian sudah diadopsi dalam Pasal 4 huruf a UU Narkotika yang menyebutkan Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya dalam Pasal 7 UU Narkotika disebutkan, narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga, berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a juncto Pasal 7 UU Narkotika, narkotika dapat digunakan dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak atas pelayanan kesehatan yang dijamin dalam konstitusi.
Di samping itu, ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU Narkotika memberikan peluang dilakukannya penelitian terhadap narkotika Golongan I dengan ketentuan tertentu. Dengan demikian, ketentuan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika tersebut telah mengakibatkan hilangnya hak para Pemohon untuk mendapatkan manfaat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berupa hasil penelitian tentang manfaat kesehatan dari narkotika Golongan I.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, para pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dibaca “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan dan atau terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.” (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : M. Halim