JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (20/4/2021). Pemohon Perkara Nomor 2/PUU-XIX/2021 ini adalah Joshua Michael Djami yang hadir dalam persidangan secara daring.
Joshua Michael Djami (Pemohon) melakukan pengujian materiil Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia yang mengatakan, “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Selain itu Pemohon menguji Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia yang menyatakan, “Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan "kekuatan eksekutorial" adalah langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.”
Di awal persidangan, Dora Nina Lumban Gaol selaku kuasa Pemohon, mengungkapkan bahwa Pemohon bekerja di perusahaan finance dengan jabatan kolektor internal dan telah bersertifikasi profesi bidang penagihan. Pemohon mengalami berbagai kesulitan semenjak ditafsirkannya undang-undang dalam perkara tersebut. Permasalahan-permasalahan yang muncul, di antaranya berkurangnya pendapatan hingga sulitnya melakukan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia akibat pemberi hak fidusia (debitur) kerap kali mengelak.
“Pengujian undang-undang dalam perkara a quo sangat erat kaitannya dengan permasalahan penanganan dan regulasi eksekusi objek jaminan fidusia yang melibatkan kolektor, dalam hal regulasi, sumber daya tenaga manusia, maupun prosedur dan pengaturannya. Pemohon adalah kolektor yang bekerja di bidang penagihan dan eksekusi agunan, menjadi suatu kenyataan bahwa Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo,” kata Dora kepada Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. FoEkh.
Dalam pandangan Pemohon, perkara tersebut sangatlah berdampak terhadap berbagai pihak, misalnya perusahaan pembiayaan, aparat penegak hukum, konsumen maupun asosiasi kolektor. Mengingat putusan MK adalah erga omnes, Pemohon dengan sangat meminta permohonan provisi agar sidang dilakukan hingga tahap pembuktian, tidak langsung putusan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 54 UU MK, sehingga Pemohon dapat memanggil pihak-pihak terdampak untuk menjadi saksi dalam perkara ini, ataupun mengajak mereka menjadi Pihak Terkait dalam perkara ini. Sehingga, apapun putusannya nanti, setidak-setidaknya rasa keadilan bagi semua pihak akan lebih besar karena sudah didengar keterangannya, dibandingkan diputus tanpa didengar keterangannya.
Pemohon juga mendalilkan tiadanya perlindungan hukum yang adil bagi industri pembiayaan. Hal ini dikarenakan biaya yang dikeluarkan untuk eksekusi lebih besar daripada pendapatan dari barang fidusia itu sendiri. Adanya perusahaan pembiayaan yang menyewa kolektor tidak bersertifikasi (preman) yang bertindak semena-mena kepada konsumennya sebagaimana dalam legal standing Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019, hal ini tidak serta merta berarti semua kolektor dan perusahaan pembiayaan bertindak demikian. Menurut Pemohon, masih ada kolektor tersertifikasi seperti Pemohon, kolektor internal yang selalu jujur dan ramah kepada debitur. Sebagai kolektor, Pemohon bahkan selalu berusaha bertindak persuasif dan negosiasi ketika bertemu dengan debitur. Namun, hak konstitusional Pemohon terdampak hanya karena ulah preman yang bersikap semena-mena kepada debitur.
Nasihat Hakim
Hakim Konstitusi Suhartoyo mencermati kedudukan hukum Pemohon. Menurut Suhartoyo, Pemohon belum menunjukkan kapasitas sebagai kolektor sebagaimana diargumentasikan dalam permohonan.
“Bukti yang ada hanya jadwal kerja dan sertifikasi profesi Pemohon. Sertifikasi profesi Pemohon memang ada. Tapi apakah sertifikasi itu dipergunakan atau tidak, harus ditegaskan dalam permohonan ini. Harus sesuai dalam meneguhkan kedudukan Pemohon,” ujar Suhartoyo yang juga menyarankan Pemohon memperkuat argumentasi terkait norma yang dianggap merugikan Pemohon dengan menyandingkan bukti-bukti empiris.
Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mempertanyakan surat kuasa Pemohon. Enny juga menasihati Pemohon agar mencermati batu uji yang digunakan, apakah batu uji tersebut sudah tepat. Kemudian, mempertajam batu uji yang digunakan.
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. FoEkh menasihati Pemohon agar lebih cermat soal penulisan dalam permohonan. Bahasa asing misalnya, harus ditulis miring. Selain itu, Daniel juga menyarankan agar Pemohon menguraikan lebih detail terkait profesi Pemohon, menjelaskan seberapa banyak menjalankan profesi kolektor, tidak cukup hanya menunjukkan sertifikasi profesi. “Ibarat pengemudi, punya SIM tetapi tidak pernah mengemudi,” kata Daniel.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.