JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. FoEkh menjadi narasumber Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) secara virtual. Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama Fakultas Hukum Unika Atma Jaya dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi), pada Sabtu (17/4/2021) siang.
“Sistematika paparan materi hari ini meliputi pengantar, hukum acara pengujian undang-undang, hukum acara sengketa kewenangan lembaga negara dan perselisihan hasil pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah, hukum acara pembubaran partai politik dan memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden,” kata Daniel yang menyajikan materi “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”.
Daniel menjelaskan, setelah perubahan UUD 1945, ada dua lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
“Pasal 2 UU MK menyebutkan, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekusaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,” jelas Daniel.
Selanjutnya, Daniel menerangkan kewenangan MK yakni menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Daniel juga menyampaikan rekapitulasi putusan dan perkara yang ditangani MK selama 2003-2020. Sepanjang 2020, tercatat sebanyak 109 perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) yang diregistrasi. Sedangkan dalam Pilkada Tahun 2020, MK meregistrasi sebanyak 136 perkara perselisihan hasil pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Terkait Perpu, terhitung sejak awal MK berdiri hingga saat ini telah menerima dan memutus sebanyak 29 perkara pengujian Perpu.
Selain itu, Daniel menjelaskan putusan MK berdasarkan amar, yaitu permohonan gugur, permohonan ditarik kembali, MK tidak berwenang mengadili, permohonan tidak dapat diterima, permohonan ditolak, permohonan dikabulkan. Kemudian ada juga yang disebut putusan sela.
“Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan oleh MK dalam pemeriksaan pendahuluan atau pemeriksaan persidangan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan objek yang dipersengketakan yang hasilnya akan dipertimbangkan dalam putusan akhir,” ungkap Daniel yang juga menyebutkan sebanyak 1404 perkara ditolak dan 215 perkara dikabulkan dalam kurun waktu 2003-2020.
Selain memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban, ujar Daniel, MK memiliki kewenangan tambahan yaitu menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) dan mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah sampai dibentuknya badan peradilan khusus. Pertimbangan hukum Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 menyatakan, “Menimbang bahwa untuk menghindari keragu-raguan, ketidakpastian hukum serta kevakuman lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah karena belum adanya undang-undang yang mengatur mengenai hal tersebut, maka penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah tetap menjadi kewenangan Mahkamah.”
Sedangkan Pasal 157 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016 menyebutkan, “Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.”
Aspek Umum Hukum Acara MK
Aspek-aspek umum Hukum Acara MK terdiri dari pengajuan permohonan, alat bukti, persidangan, putusan. Pengajuan permohonan, terang Daniel, diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap, permohonan harus disertai alat bukti, kemudian diserahkan langsung ke Kepaniteraan atau dapat diajukan secara online. Pengajuan permohonan tidak dibebani biaya perkara.
Berikutnya, tahap persidangan. Persidangan terdiri dari pemeriksaan pendahuluan (panel) yang dihadiri tiga Hakim Konstitusi dan pemeriksaan persidangan (pleno) yang dihadiri sembilan Hakim Konstitusi atau minimal dihadiri tujuh Hakim Konstitusi.
“Sidang selalu terbuka untuk umum. Pemohon dapat mengajukan permohonan pelaksanaan sidang jarak jauh sesuai dengan PMK Nomor 18 Tahun 2009. Sejak pandemi Covid-19, banyak permohonan masuk ke MK secara online termasuk permohonan perselisihan hasil pilkada,” jelas Daniel.
Mengenai alat bukti, menurut Daniel, yang utama berupa surat atau tulisan. Selain itu, berupa keterangan saksi, keterangan para pihak, petunjuk dan alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Daniel juga menerangkan mengenai Putusan MK. MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Sesuai dengan Pasal 47 UU MK, Kekuatan Putusan MK berlaku sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno.
Hukum Acara PUU
Lebih lanjut Daniel menyinggung mengenai Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (PUU). Objek PUU yakni undang-undang dan perpu. Sedangkan jenis PUU terdiri atas pengujian formil yang berkaitan dengan proses pembentukan undang-undan dan pengujian materiil yang berkaitan dengan materi muatan dalam undang-undang.
Kemudian mengenai Pemohon dalan PUU adalah perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama), kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diatur dalam undang-undang, serta badan hukum publik atau privat, dan lembaga negara.
Pengajuan permohonan PUU ke MK dapat dilakukan apabila Pemohon mengalami kerugian konstitusional, adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Tentang permohonan PUU, lanjut Daniel, menggunakan istilah ‘”permohonan”, bukan gugatan seperti dalam praktek hukum acara perdata, karena tidak mengandung sengketa kepentingan yang bersifat contentiosa. Dalam pengujian PUU, DPR dan Presiden/Pemerintah, termasuk DPD, bukanlah lawan dari Pemohon, melainkan Pemberi Keterangan. Format permohonan PUU secara sederhana meliputi: Identitas Pemohon, Kewenangan MK, Kedudukan hukum (legal standing), Alasan permohonan pengujian, Petitum.
Sedangkan putusan PUU bersifat erga omnes, meskipun dimohonkan oleh perseorangan/individu, namun keberlakuan putusan mengikat seluruh warga (umum) dan memengaruhi politik hukum di Indonesia. Amar putusan dapat berupa permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), ditolak, atau dikabulkan.
Varian lain dari putusan PUU meliputi, Konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), misalnya Putusan MK Nomor 10/PUU-VI/2008. Inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), misalnya Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009. Menunda keberlakuan putusan, misalnya Putusan MK Nomor 016-PUU-IV/2006. Merumuskan norma baru, misalnya Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009.
Dalam acara itu, Daniel juga menguraikan secara gamblang tentang Hukum Acara SKLN dan Hukum Acara PHPU/Pilkada, Hukum Acara Pembubaran Partai Politik, Hukum Acara Memutus Pendapat DPR mengenai Dugaan Pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.