JAKARTA, HUMAS MKRI – Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto menjadi narasumber kuliah umum dengan materi “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” secara virtual dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan XII, pada Sabtu (20/3/2021) pagi. Kegiatan ini diselenggarakan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar bekerja sama dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
“Kami akan melakukan sharing tentang tema yang perlu diketahui banyak orang mengenai bagaimana Beracara di Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan kewenangan MK,” kata Aswanto kepada para peserta kegiatan.
Di awal pemaparan, Aswanto menerangkan latar belakang dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003. Dalam Pembukaan UUD 1945 dijelaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) yang bermakna Indonesia bukanlah negara yang berdasarkan atas kekuasaan, namun berdasar atas hukum.
“Hukum yang dimaksud adalah hukum yang secara prosedural lahir dari proses yang sesuai dengan proses pembentukan undang-undang. Ketika sebuah undang-undang sudah diproses secara formil, maka kita harus tunduk kepada undang-undang itu,” jelas Aswanto.
Namun sebenarnya, lanjut Aswanto, perkembangan dunia termasuk Indonesia, banyak negara yang tidak hanya ingin sebagai negara hukum, tetapi juga ingin menjadi rule of law. Dalam konteks rechtsstaat, hal-hal yang terdapat dalam undang-undang, seseorang harus patuh pada norma dalam undang-undang tersebut.
“Apakah norma itu sudah sesuai dengan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat? Inilah yang menjadi persoalan. Dalam konteks rule of law, ketika ada norma yang tidak sesuai dengan rasa keadilan yang berada dalam kehidupan masyarakat, maka mestinya ada mekanisme yang bisa melakukan usaha perbaikan terhadap norma yang dimaksud. Itulah sebabnya lahir Mahkamah Konstitusi,” urai Aswanto.
Kewenangan MKRI
Selanjutnya Aswanto menjelaskan tentang kekuasaan kehakiman. Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, sambung Aswanto, menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi.
Aswanto juga mengungkapkan empat kewenangan dan satu kewajiban MKRI seperti disebutkan dalam Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945. Kewenangan pertama, MKRI berwenang melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Mengenai pengujian undang-undang terbagi menjadi dua yakni pengujian formil dan pengujian materiil.
“Pengujian formil adalah yang berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Sedangkan pengujian materiil adalah pengujian Undang-Undang yang berkenaan dengan substansi Undang-Undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945,” urai Aswanto.
Dalam pengujian undang-undang terdapat mekanisme hukum yang terdiri atas beberapa tahapan. Pada tahap pertama, MK menggelar sidang pendahuluan, ada tiga hakim konstitusi yang akan mendengarkan dengan saksama unsur-unsur pokok dari sebuah perkara yang dimohonkan oleh Pemohon. Dalam sidang tersebut, panel hakim memberikan nasihat untuk perbaikan permohonan. Selanjutnya, Pemohon diberikan waktu selambat-lambatnya 14 hari untuk melakukan penyempurnaan permohonan.
Tahap kedua adalah sidang pemeriksaan perbaikan permohonan untuk mendengarkan hal-hal yang menjadi pokok perbaikan permohonan Pemohon. Setelah dua tahap sidang panel tersebut dilaksanakan, selanjutnya panel hakim membawa pokok perkara ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Melalui agenda RPH ini, hakim panel dapat merekomendasikan mengenai layak tidaknya sebuah perkara untuk dilanjutkan ke sidang pleno atau cukup selesai pada sidang panel.
Setelah tahap tersebut, setiap pihak akan diberikan waktu untuk pembuktian. Pemohon, Presiden, DPR, dan Pihak Terkait, masing-masing menyampaikan pembuktian dengan mendatangkan ahli dan saksi. Setelah semua mendapatkan kesempatan pembuktian, tahap berikutnya Mahkamah kembali menggelar RPH untuk putusan.
Kewenangan MK yang kedua, lanjut Aswanto, MKRI berwenang memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Pemohon sengketa kewenangan antaralembaga adalah lembaga negara yang kewenangannya diatur dan diberikan oleh Konstitusi. Tidak semua kewenangan lembaga negara diberikan oleh Konstitusi. “Misalnya Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi, yang kewenangannya berdasarkan undang-undang,” jelas Aswanto.
Kewenangan ketiga, MKRI berwenang memutus pembubaran partai politik (parpol). Parpol dapat dibubarkan jika bertentangan dengan haluan negara. Sebagai Pemohon yang mengajukan pembubaran parpol ke MK adalah pemerintah. Kewenangan keempat, MK berwenang memutus sengketa hasil pemilu, baik pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif. Lalu, bagaimana dengan pemilihan kepala daerah (pilkada)?
“Kewenangan menangani sengketa hasil pilkada pertama kali adalah Mahkamah Agung. Kemudian Mahkamah Agung mengalihkan kewenangannya ke pengadilan tinggi untuk menangani sengketa pilkada di tingkat kabupaten/kota. Sementara untuk sengketa pilkada di tingkat provinsi tetap ditangani Mahkamah Agung,” ungkap Aswanto.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, ujar Aswanto, melalui diskusi-diskusi panjang, kewenangan menangani sengketa hasil pilkada dialihkan ke MK. Setelah ada Putusan MK, Mahkamah menegaskan bahwa penanganan sengketa hasil pilkada bukan merupakan kewenangan MK. Tetapi kenapa MK tetap menangani sengketa hasil pilkada? Karena ada klausul dalam Putusan MK yang menyatakan bahwa yang memiliki kewenangan menangani sengketa hasil pilkada adalah peradilan khusus. Tetapi sepanjang belum terbentuk peradilan khusus, maka penanganan sengketa hasil pilkada tetap menjadi kewenangan MK.
Berikutnya, Aswanto menjelaskan kewajiban MKRI dalam memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan perbuatan melanggar hukum maupun perbuatan tercela. Sejak MKRI dibentuk hingga sekarang, belum pernah ada permohonan gugatan untuk melakukan pemakzulan atau impeachment terhadap Presiden.
Hal lain, Aswanto menerangkan ketentuan mengenai undang-undang yang dapat diuji ke MK. Sebelumnya, ada ketentuan bahwa undang-undang yang dapat diuji ke MK adalah undang-undang yang dibentuk setelah lahirnya MKRI pada 2003. Namun seiring dengan perkembangan zaman, undang-undang yang dapat diuji ke MK adalah undang-undang yang dibentuk baik sebelum maupun setelah lahirnya MKRI.
Lantas bagaimana dengan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)? Mengenai pengujian Perppu, ungkap Aswanto, berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 bahwa Perppu pun dapat diuji ke MK. “Mahkamah juga berwenang untuk menguji Perppu,” tegas Aswanto.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.