JAKARTA, HUMAS MKRI - Acara Bedah Buku “Lembaga Negara” karya Hakim Konstitusi Saldi Isra digelar secara virtual oleh Advokat Konstitusi pada Sabtu (13/3/2021) pagi. Sebelum acara bedah buku, Saldi menyampaikan sambutannya sebagai pembicara kunci terkait buku karyanya itu.
“Terima kasih kepada teman-teman yang tergabung dalam Advokat Konstitusi. Saya juga berterima kasih kepada dua pembedah buku yang hadir, Mas Fajlurrahman Jurdi dan Mas Fitrah Bukhari yang akan memberi komentar. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan buat teman-teman dari Rajawali Pers yang sudah menerbitkan buku ini,” kata Saldi Isra yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas tersebut.
Saldi melanjutkan, tidak mudah baginya untuk menulis Buku “Lembaga Negara” seperti disampaikan Saldi dalam pengantar penulis. Buku tersebut menurut Saldi, kini sudah menjadi bacaan wajib bagi para mahasiswa fakultas hukum tata negara, baik di level S1, S2 maupun S3.
“Karena itu, saya berpikir kalau saya menulis buku mengenai lembaga negara, harus ada yang membedakan dengan buku-buku bertema lembaga negara yang sudah beredar seperti ditulis Prof. Jimly Asshiddiqie serta ditulis oleh Prof. Ni’matul Huda dan lainnya,” ujar Saldi.
Teropong Organ Negara dari Putusan MK
Alhasil dalam Buku “Lembaga Negara” karyanya, Saldi mencari hal lain yang dapat membedakan dengan buku-buku bertema lembaga negara. Salah satunya, menurut Saldi, agak jarang penulis meneropong organ negara dari Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Oleh karena itu, sesuatu yang mungkin saya tawarkan agak baru di buku ini adalah bagaimana putusan-putusan MK memberikan cara pandang baru terhadap lembaga negara. Kalau dilihat, buku ini dari pengantar sudah merujuk pada Putusan MK. Misalnya ketika saya merujuk apa itu lembaga negara dalam pengertian konsep dan segala macamnya. Kemudian saya merujuk pada bagaimana MK memberikan pengertian soal lembaga negara. Maka muncul Putusan MK yang memberikan pengertian lembaga negara itu bisa dibedakan menjadi lembaga negara utama dan lembaga negara penunjang,” urai Saldi.
Salah satu pengertian lembaga negara yang dirujuk oleh MK, sambung Saldi, ketika ada putusan soal bagaimana melihat Komisi Yudisial (KY) di antara tebaran lembaga-lembaga negara yang dihasilkan dalam Perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. “Terlepas orang setuju atau tidak dengan putusan MK, paling tidak, putusan MK yang terkait dengan KY itu menambah literatur maupun pemahaman baru bagi kita tentang lembaga negara. Bahwa lembaga negara dalam pengertian MK, ada lembaga negara utama dan lembaga negara penunjang,” ungkap Saldi.
Walaupun demikian, lanjut Saldi, tetap pandangan yang berbeda dari para hakim konstitusi saat memutuskan soal lembaga negara. Misalnya Jimly Asshiddiqie, begitu selesai Perubahan UUD 1945, tidak lagi melihat hierarki dalam lembaga negara. Dahulu orang mengenal ada lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara yang muncul dari desain Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang di dalamnya membuat semacam hierarki dalam lembaga negara.
“Kalau melihat semua lembaga negara yang dielaborasi dalam buku ini, mulai dari pengertian lembaga negara itu sendiri di Bab I sampai kemudian Mahkamah Konstitusi di bagian terakhir, setiap bab ada Putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak hanya memberi pengaruh bagaimana mendefinisikan lembaga negara. Putusan Mahkamah Konstitusi pada ujungnya juga mengoreksi, menyesuaikan bagaimana kewenangan, fungsi lembaga negara itu kalau dikaitkan dengan UUD 1945,” papar Saldi.
Pada Bab II Buku “Lembaga Negara” karyanya mengenai DPR misalnya, Saldi menyebutkan ada beberapa Putusan MK yang menyesuaikan dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang dengan apa yang dikehendaki oleh UUD 1945. Misalnya ketika Pemilihan Hakim Agung, Undang-Undang mengatur bahwa KY mesti mengirim nama dengan jumlah dua kali lipat dari Hakim Agung yang diperlukan.
“Lalu Undang-Undang itu dikoreksi oleh MK, soal pengiriman atau pengisian Hakim Agung, tugas DPR tidak memilih. Tugas DPR adalah setuju atau tidak setuju dengan nama-nama yang dihasilkan oleh KY dengan melakukan proper test terhadap nama-nama tersebut,” jelas Saldi.
Kewenangan DPD
Lebih lanjut, Saldi menyebut terdapat Putusan MK terkait makna Pasal 22D UUD 1945 tentang seberapa jauh kewenangan DPD dalam fungsi legislasi ketika membentuk Undang-Undang yang terkait dengan Pasal 22D UUD 1945. Dalam Putusan MK itulah dikenal mengenai proses pembentukan Undang-Undang, ada yang disebut bipartit terkait hubungan antara DPR dengan Presiden. Kemudian ada juga pola hubungan yang dikenal dengan tripartit yang melibatkan DPR, DPD dan Presiden.
“Terlepas Putusan MK ini masih diperdebatkan dalam relasi DPR, DPD dan Presiden dalam pembentukan Undang-Undang, tapi Putusan MK coba meletakkan desain bekerjanya tiga lembaga negara terkait dengan Pasal 22D UUD 1945 dalam pembentukan Undang-Undang,” ucap Saldi.
Berikutnya, dalam Buku “Lembaga Negara” karya Saldi menyebutkan ada beberapa Putusan MK yang mengubah beberapa hal yang ada di MPR, Presiden, BPK maupun MA, bahkan di MK sendiri.
“Jadi, pernah ada Putusan MK yang berkaitan dengan MK itu sendiri. Tentu orang akan berdebat, boleh atau tidak hakim mengadili sesuatu yang terkait dengan kepentingannya sendiri? Debat akademik yang tidak selesai-selesai sampai hari ini. Tapi dalam praktik, sudah dimasuki oleh MK,” kata Saldi.
Hadir dalam kesempatan itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Fajlurrahman Jurdi dan Fitrah Bukhari yang merupakan pendiri Advokat Konstitusi sebagai pembedah buku. (*)
Penulis : Nano Tresna A.
Editor : Lulu Anjarsari