Peraturan Pemerintah soal biaya perkara di Mahkamah Agung belum tersusun. Belum jelas apakah biaya perkara itu tergolong Penerimaan Negara Bukan Pajak atau bukan.
Soal audit biaya perkara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak patut menyalahkan Mahkamah Agung (MA). Selaku lembaga yudikatif, MA tentu selalu mendasarkan pendiriannya kepada hukum. Kedua pihak sebaiknya menunggu rampungnya penyusunan Peraturan Pemerintah (PP).
âKan yang menyusun PP itu pemerintah. Mestinya yang disalahkan pemerintah, bukan MA,â kata Ketua Komisi III DPR Trimedya Pandjaitan, Senin (14/4). Menurut Trimedya, berlarut-larutnya penyusunan PP itu mengakibatkan perseteruan MA melawan BPK sulit dihentikan.
Meski sudah beberapa kali âduelâ, MA dan BPK memang belum akur soal biaya perkara. Sempat didamaikan Presiden pada September tahun lalu, kini pimpinan kedua lembaga itu kembali saling bersitegang.
Di Gedung DPR, Kamis (10/4), Ketua BPK Anwar Nasution mengungkit-ungkit lagi sikap MA yang menolak BPK mengaudit biaya perkara. âTernyata janji ketua Mahkamah Agung di depan Wakil Presiden dan Presiden pada tanggal 21-22 September 2007 belum direalisasi,â ujar Anwar di rapat paripurna DPR.
Sebelumnya, Anwar pernah melaporkan sikap keukeuh Ketua MA Bagir Manan ke Mabes Polri. Laporan tertanggal 13 September 2007 itu menyatakan bahwa Bagir mencegah BPK melakukan pemeriksaan atas biaya perkara tahun 2005-2006.
Ketika itu Anwar mendasarkan langkahnya kepada UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Menurut Pasal 24 ayat (2), orang yang mencegah pemeriksaan diancam sanksi penjara paling lama setahun enam bulan dan/atau denda Rp500 juta.
Anwar juga berpegang pada UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Menurut Anwar, pemungutan biaya perkara yang dilakukan MA kepada pihak berperkara adalah atas nama negara, sehingga harus dianggap PNBP.
Selain itu, Anwar merujuk kepada UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 2 UU tersebut menyatakan, ruang lingkup keuangan negara termasuk kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelesaian tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.
Namun upaya hukum melalui kepolisian itu tak mempan lantaran Presiden buru-buru mendamaikan keduanya. âKita sudah sepakat bersama, foto bareng, cium-ciuman,â kata Anwar, mengenang.
Karena itu, Anwar masih menimbang-timbang lagi kemungkinan melaporkan pimpinan MA ke kepolisian. Yang jelas, tandas Anwar, BPK sengaja melaporkan hal ini kepada DPR selaku pemegang hak bujet. âEra sekarang ini, semua harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat,â tandasnya.
Di Gedung MA, sehari kemudian, Jumat (11/4), Ketua MA Bagir Manan menanggapi pernyataan Anwar dengan tak kelah keras. âAnwar jangan memaksakan maunya sendiri. Dia salah kira kalau memaksakan semua orang di negeri ini. Negeri ini berdasarkan hukum dan kesepakatan,â ujarnya.
Menurut Bagir, persoalan ini seharusnya dikembalikan kepada PP yang kini sedang digodok Depkumham. âKarena kesepakatannya adalah PP, maka kita tunggu PP,ââ jelasnya.
Mengenal Dana Pihak Ketiga
Di Pengadilan
Dana pihak ketiga adalah dana yang diterima pengadilan selain yang berasal dari APBN. Dana ini diterima dari pihak yang berperkara maupun pihak lain yang memanfaatkan layanan hukum yang diberikan pengadilan. Secara garis besar dana pihak ketiga dibedakan menjadi enam:
Dana dari Jasa Layanan hukum
Yaitu biaya yang dikutip negara atas jasa administratif beruapa pengesahan atau pemberian status hukum terhadap dokumen perorangan, kumpulan maupun kelompok usaha. Komponen ini terdiri dari legalisasi, pewarganegaraan, biaya yang berkaitan dengan status badan hukum, dan biaya yang berkaitan dengan notariat. Dana ini termasuk bagian dari penerimaan negara. Pengadilan harus menyetor ke ke kas negara setelah memungutnya.
Uang Perkara
Biaya perkara pada dasarnya terdiri dari biaya kepaniteraan dan biaya proses. Namun ada juga biaya lain yang biasa disebut biaya administrasi.
Biaya kepaniteraan dipungut atas dasar penetapan pemerintah untuk pelayanan yang diberikan pengadilan atas pendaftaran suatu perkara. Termasuk dalam biaya kepaniteraan adalah biaya atas penulisan penetapan putusan (leges) yang dipungut setelah jatuhnya putusan. Besarnya biaya ini ditetapkan pemerintah sebagai PNBP. Jumlahnya sama untuk tiap perkara.
Biaya proses adalah biaya yang berkaitan dengan penyelesaian suatu perkara. Misalnya biaya untuk pemanggilan para pihak yang bersengketa, serta pemrosesan dan pengiriman berkas. Besarnya biaya ini tidak sama untuk tiap perkara. Yang menetapkannya adalah Ketua Pengadilan.
Biaya administrasi, berdasarkan SEMA No2 Tahun 2000, besarnya adalah Rp50.000. Biaya ini dipungut bersama panjar biaya perkara dan dicatatkan dalam buka jurnal tersendiri. Biaya ini dipergunakan untuk operasional pengadilan. Ketua Pengadilan punya kewenangan penuh menentukan penggunaannya.
Uang Titipan atau Konsinyasi
Konsinyasi adalah uang yang dititipkan ke pengadilan oleh pihak tertentu yang memiliki kewajiban untuk melunasi utang atau kewajiban hukum lainnya kepada pihak lain yang tidak mau menerima pembayaran tersebut karena beberapa alasan. Penitip uang dapat mengambil uang ini sewaktu-waktu.
Biaya Eksekusi, Sita dan Somasi
Biaya somasi dikeluarkan pihak yang akan melakukan somasi yang besarnya ditetapkan oleh Ketua PN. Sedangkan biaya sita terdiri dari biaya penetapan haki ketua, biaya redaksi pengangkatan dan upah tulis. Selain, biaya sita dapat berupa biaya delegasi sita jaminan, sita eksekusi, dan sita revindicatoir.
Biaya eksekusi terdiri dari biaya teguran (aanmaning), biaya ekseksui lelang suatu tempat, biaya pra eksekusi dan biaya eksekusi pengosongan suatu tempat. Besarnya biaya ini dtetapkan oleh Ketua PN.
Biaya Banding, Kasasi dan PK
Biaya permohonan Banding ditetapkan Ketua Pengadilan Tinggi, sedangkan biaya pengajuan kasasi dan PK ditetapkan oleh Ketua MA. Biaya kasasi untuk perdata umum, perdata agama, dan Tata Usaha Negara adalah Rp500.000. Biaya PK adalah Rp2.500.000. Biaya permohonan kasasi dan PK untuk perdata niaga lebih mahal. Untuk kasasi Rp5 juta dan untuk PK Rp10 juta.
Biaya Lain-lain
Biaya ini didapat dari salinan putusan yang diminta masyarakat. Selain itu, biaya ini diperoleh dari pembuatan Surat Keterangan Bebas Perkara Pengadilan (SBPP) yang berisi keterangan mengenai perusahaan atau individu apakah sedang menjadi pihak dalam suatu perkara di pengadilan atau tidak.
Sumber: Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pengelolaan Keuangan Pengadilan, MA, 2003.
Direktur Harmonisasi Perundang-undangan Dephukham Wicipto menyatakan, PP yang dinanti-nanti itu masih berbentuk rancangan. Pembahasannya cukup alot lantaran terjadi beda pendapat mengenai definisi keuangan negara. âSelama belum ada persamaan persepsi, RPP-nya susah untuk diselesaikan ,â katanya.
Wicipto mengatakan, BPK bersikukuh biaya perkara termasuk ke dalam pengertian keuangan negara. Karena itu, BPK punya wewenang untuk mengauditnya. Di sisi lain, Departemen Keuangan, MA dan Dephukham berpendapat bahwa biaya perkara adalah uang titipan dari pihak yang berperkara. Uang itu untuk operaional selama penyelesaian perkara hingga memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht).
Masalah perbedaan persepsi itu sudah disampaikan di Setneg dan akhirnya diputuskan agar Depkeu berkoordinasi dengan BPK untuk menyamakan persepsi. Setelah rampung, Depkeu menyerahkannya kepada Dephukham. âPosisinya sekarang ada ditangan Depkeu untuk diperbaiki,â ungkap Wicipto.
Meski demikian, Wicipto menegaskan, RPP ini tidak terkait dengan kewenangan mengaudit BPK karena hal itu telah diatur dalam UU tersendiri. Menurutnya, BPK bisa mengaudit sisa biaya perkara yang tidak diambil oleh orang yang berperkara di pengadilan dan sudah berkekuatan hukum tetap. Selama belum inkracht belum bisa disetor ke kas negara.
Muatan RPP itu di antaranya mewajibkan Panitera MA untuk memberitahukan pihak yang berperkara jika ada kelebihan uang titipan. Jika dalam waktu 180 hari setelah diinformasikan ternyata uang itu tidak diambil, maka kelebihan uang itu akan masuk ke kas negara. Begitu juga jika ada kekurangan biaya perkara. Yang terang, selama ini yang sering terjadi adalah pengadilan menerima kelebihan uang itu.
(Her/Ycb/Mon)
Sumber www.hukumonline.com
Foto www.google.co.id