JAKARTA, HUMAS MKRI - Saksi Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Morowali Utara Nomor Urut 02 Holiliana dan Abudin Halilu (Pemohon) menolak menandatangani berita acara rekapitulasi di tingkat kecamatan. Hal ini dikarenakan pada formulir C-1 KWK Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Morowali Utara ditemukan ketidaksinkronan jumlah pengguna hak pilih dan penggunaan surat suara. Setelah dilakukan pengecekan dengan membuka kotak suara, memang terdapat ketidaksesuaian antara jumlah surat suara yang diterima, termasuk surat suara cadangan pada TPS 1 Desa Kolo Bawah.
Hal ini disampaikan Alwi Lahadji selaku Saksi Pemohon yang hadir dalam sidang lanjutan penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Tahun 2020 (PHP Kada 2020), pada Kamis (25/2/2021). Alwi merupakan Saksi di PPK Kecamatan Mamosalato dan Kabupaten Morowali Utara yang menyatakan keberatan saat dilakukan rekapitulasi pada tingkat kecamatan dan kabupaten. Pada TPS 01 Desa Menyo’e, ia menemukan banyak coretan pada formulir C-Hasil. Selain itu, ia juga menemukan jumlah data pemilih yang memilih tidak jelas.
“Sehingga saat itu disepakati untuk memilih daftar pemilih dengan mencocokkannya dengan kebenaran yang hadir. Didapati pada DPT-nya itu 364 pemilih, di mana Paslon 01 memperoleh 209 suara, Paslon 02 memperoleh 98 suara,” ucap Alwi pada sidang perkara yang teregistrasi Nomor104/PHP.BUP-XIX/2021 untuk PHP Kada Kabupaten Morowali Utara tersebut.
Baca juga: Paslon Bupati Banggai dan Morowali Utara Ungkap Pelanggaran Pilkada
Selanjutnya, Alwi menceritakan bahwa padaTPS 01 Desa Menyo’e saat rekapitulasi lanjutan digelar pada 14 Desember 2020, terlihat PPK yang membawa bungkusan plastik ungu berisikan dokumen. Dalam rapat tersebut, sambungnya, justru dokumen yang berada di luar dokumen yang ada pada kotak suara saat pleno pada 13 Desember 2020 itu dibahas untuk dijadikan dokumen yang akan disertakan dalam kotak suara untuk hasil akhir rapat.
“Atas hal ini saksi berkeberatan dokumen itu untuk dimaksukkan dalam kotak suara sebagai bagian dari hasil perolehan suara. Namun dokumen dalam kantong palastik ungu itu tetap diisikan oleh KPPS hingga selesainya pembacaan rekapitulasi,” ungkap Alwi yang juga hadir dalam sidang pembuktian bersama dua saksi lainnya, yakni Sabrin dan Nuriati.
Memilih dan Wajib Swab Antigen
Sementara itu, Sabrinyang merupakan Ketua Serikat Pekerja di PT Ana yang juga dihadirkan Pemohon membagikan kesaksiannya terkait karyawan yang tidak ikut pemilihan. Menurutnya, rata-rata karyawan pada perusahaan tersebut memiliki hak pilih pada TPS-TPS yang ada di kecamatan dengan jarak tempuh sekitar 15 menit menggunakan motor. Namun, karena ada imbauan bagi karyawan yang memilih untuk wajib melakukan swab antigen sebelum memasuki kembali kawasan perusahaan.
“Ada kebijakan kalau sekembali dari memilih itu untuk swab antigen senilai Rp300.000 dan jika dinyatakan positif covid, maka wajib isolasi yang semua keperluannya ditanggung karyawan. Sebenarnya setiap pemilih bisa memilih, tapi pada akhirnya banyak yang tidak memilih karena jika memilih harus lakukan swab antigen yang pembiayaannya diambil dari dana pengobatan tahunan karyawan,” ungkap Sabrin pada sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, dan Hakim Konstitusi Saldi Isra dari Ruang Sidang Panel III MK.
Baca juga: Bawaslu Banggai: PSU Digelar Karena Ada Pemilih Gunakan Hak Pilih Orang Lain
Bagian HAM
Pada kesempatan yang sama, Pemohon juga menghadirkan Maruarar Siahaan sebagai Ahli untuk menanggapi dalil-dalil permohonan yang diajukan ke MK. Terkait kasus konkret yang ditemukan Pemohon atas kewajiban karyawan PT Ana untuk melakukan swab antegen usai melakukan pemilihan ke TPS, Maruarar berpendapat hal tersebut berarti telah mencegah mereka menggunakan hak pilihnya. Menurutnya, dalam Pasal 28i ayat (4) UUD 1945 dinyatakan negara harus menghormati dan melindungi hak asasi.
“Hak asasi di sini adalah hak pilih, yang menjadi tugas negara melalui penyelenggara pemilu. Bahwa hak pilih adalah hak asasi yang wajib difasilitasi oleh negara dan berkoordinasi dengan perusahaan agar tidak ada kondisi mengesampingkan hak konstitusional warga negara,” jelas Maruarar dalam sidang yang dihadirinya secara virtual.
Bukan PSU Bupati
Pada sidang hari ini, Mahkamah juga memperdengarkan kesaksian dari tiga saksi yang dihadirkan KPU Kabupaten Morowali Utara, yakni David Kompi, Ari Yulianto, dan Fajar. Dalam kesaksian David Kompi yang merupakan Ketua KPPS TPS 1 Desa Peboa mengungkapkan bahwa DPT pada desa tersebut adalah 504 pemilih, sedangkan pemilih yang menggunakan hak pilih sebanyak 397 pemilih. Dalam pemilihan di tempatnya bertugas, terdapat dua pemilih yang menerima surat suara untuk pemilihan gubernur dan tidak menerima surat suara untuk pemilihan bupati. Atas hal ini, kemudian ada rekomendasi untuk PSU untuk pemilihan gubernur. “Dan untuk pemilihan bupati justru tidak ada PSU,” ucap David.
Penafsiran Hukum PSU
Sementara itu, Pihak Terkait menghadirkan Agus Riswanto sebagai Ahli yang mengemukakan mengenai penafsiran hukum pemungutan suara ulang yang menjadi salah satu dalil Pemohon pada sidang pendahuluan. Menurutnya, tidak dilakukannya PSU di beberapa TPS karena setelah adanya rekomendasi Bawaslu, maka melalui Panwascam pihak penyelenggara pun melakukan pendalaman dengan melaksanakan pengkajian dan penelitian. Berpedoman pada Pasal 112 UU 10/2016, KPU tidak melakukan PSU karena keadaan yg tidak senyatanya.
Artinya, pembukaan berkas kotak suara dilakukan sebelum pemiliah dan bukan pada saat pemungutasn suara yang juga disaksikan oleh saksi, pengawas, dan masyarakat. Sehingga apabila kondisi demikian dijadikan alasan rekomendasi PSU, maka hal itu tidak berdasar menurut hukum. Syarat dilakukan PSU adalah apabila terdapat lebih dari satu orang pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali dalam satu TPS yang sama.
“Apabila pemilih dapat dua kertas suara, maka seharusnya pemilih yang harus melakukan kroscek, membaca, dan melipat kembali kertas suara jika memang terdapat kekeliruan dan meminta penggantinya pada petugas. Bahwa saling kontrol ini sudah ada ketentuan hukumnya. Apabila ada surat suara rusak atau ada kekeliruan, maka KPPS akan memberikan gantinya,” jelas Agus.
Lebih lanjut Agus menerangkan bahwa keadaan hukum rekomendasi PSU oleh Bawaslu Kabupaten terhadap beberapa TPS dan tidak semua dilakukan KPU. Dalam pandangannya, hal ini didasrkan pada Pasal 139 dan 140 UU 10/2016. Pada intinya, penafsiran yang dilakukan KPU ini sebagai suatu rangkaian sistem dengan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu sebelum KPU Kabupaten memutus untuk melakukan PSU.
Daftar Hadir yang Tercecer
Pihak Terkait dalam sidang ini juga menghadirkan tiga orang saksi, yaitu Dale Pasimbo, Ahmad Susanto, dan Mohammad Masnan. Dalam kesaksian Ahmad Susanto yang merupakan Saksi di Desa Mamosaloto mengungkapkan tentang keberatan atas saksi yang menyatakan tidak adanya daftar hadir pada TPS. Ia mengungkapkan pada saat dilakukan pembukaan kotak suara dan tidak ditemukan daftar hadir sebelum pencoblosan, maka PPK memerintah PPS untuk mengecek hal tersebut. Setelah dilakukan penelusuran, ternyata daftar hadir yang dimaksudkan tercecer. Selain itu, usai pemilihan PPL dan PPK serta saksi juga telah melakukan sinkronisasi data dan tidak ditemukan adanya perubahan dilakukan sesuai jadwal. “Maka dibuat juga berita acara sonkronisasi data. Dan untuk menjaga keamaman, maka daftar hadir pun dimasukkan dalam kotak suara dan disegel untuk dibawa rapat ke kabupaten,” ungkap Ahmad.
Sementara itu, Mohammad Masnan yang menjadi saksi pada tingkat kabupaten dari Paslon Nomor Urut 01 mengungkapkan persebaran domisili karyawan PT Ana yang dikatakan tidak ikut dalam pemilihan kepada daerah di Kabupaten Morowali Utara. Bahwa PT Ana yang berada di Kecamatan Petasia tersebut memiliki 916 karyawan, bukan 41.130 orang. Informasi tersebut didasarkan pada data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Morowali Utara yang mengungkapkan sejumlah 916 orang karyawan perusahaan tersebut tersebar sejumlah 16 orang di Kabupaten Morowali. “Sisanya 900 orang itu berdomisili di Kabupaten Morowali Utara. Itu pun tersebar pada 10 desa dan 4 kecamatan. Sedangkan dari 900 orang ini, penduduk asli yang punya hak pilih pun belum diketahui,” jelas Masnan.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan kehilangan sejumlah 150 suara dari 4 TPS, yang seharusnya dilakukan pemungutan suara ulang sesuai dengan Surat Rekomendasi Bawaslu Morowali Utara Nomor 331/K.ST.07/TU.00.01/XII/2020 tanggal 11 Desember 2020. Di samping itu, Pemohon juga menemukan adanya surat suara sah untuk pemilihan bupati yang berada pada kotak suara pemilihan gubernur di Desa Momo. Berikutnya, Pemohon juga mengungkapkan ada KPPS yang tidak menyediakan daftar hadir. Untuk itu, Pemohon memohonkan pada MK agar membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Morowali Utara Nomor 185/PL.02.6-Kpt/7212/KPU-Kab/XII/2020 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Morowali Utara Tahun 2020 tanggal 17 Desember 2020. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
Editor Video : M Nur
Reporter : Bayu
Pengunggah : Rudi