JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjadi narasumber Kuliah Umum Hukum Tata Negara yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) secara daring pada Sabtu (13/2/2021) pagi. “Pada kesempatan ini saya ingin memberikan pengantar bagi para mahasiswa yang ingin menempuh kuliah hukum tata negara. Oleh karena itu penting bagi saya untuk menyampaikan materi hal-hal terkait hukum tata negara,” ujar Enny membuka perkuliahan.
Enny mengatakan, para peminat jurusan hukum tata negara di masa lalu sangat sedikit jumlahnya dibandingkan sekarang. Kala itu, para lulusan hukum tata negara dianggap sulit untuk mendapatkan pekerjaan dibandingkan jurusan hukum dagang dan hukum perdata yang lebih diminati dan mudah untuk mendapatkan pekerjaan.
Pada masa lalu, kata Enny, kuliah di jurusan hukum tata negara tidak bisa begitu bebas mengeksplorasi ragam pendapat maupun gagasan warga negara karena berada di bawah kekuasaan rezim yang otoriter. Perbedaan pendapat dengan pemerintah akan berakhir dengan UU Subversif. Banyak kejadian semacam itu, misalnya kasus orang hilang. Perkuliahan hukum tata negara pada masa lalu sifatnya sangat monoton, sangat text book. Mahasiswa diminta menghafal secara text book, tidak bisa mengeksplorasi di luar itu. Oleh karena itu, kuliah hukum tata negara dianggap tidak menarik pada masa itu.
“Para lulusan hukum tata negara hanya bisa bekerja di lapangan pekerjaan yang terbatas. Misalnya bekerja di kecamatan, kelurahan, atau paling tidak di pemerintahan daerah,” ungkap Enny soal sepinya peminat hukum tata negara di masa lalu.
Namun lanjut Enny, pasca reformasi 1998 di Indonesia, jurusan hukum tata negara berkembang sedemikian rupa sehingga peminatnya sangat banyak. Hal ini disebabkan reformasi telah mengantarkan adanya perubahan ketatanegaraan yang luar biasa, mengubah sistem ketatanegaraan di Indonesia, mengubah relasi antara kekuasaan negara, adanya mekanisme checks and balances dan sebagainya. Setelah itu, bak jamur di musim hujan, banyak lahir doktor-doktor hukum tata negara. Banyak perguruan tinggi yang memiliki program pascasarjana untuk bidang hukum tata negara. Ini semua, menurut Enny, sebagai berkah dari reformasi.
Reformasi, sambung Enny, menuntut amendemen UUD 1945 yang dilakukan sebanyak empat tahap dari tahun 1999-2002. Sebelum dilakukan amendemen UUD 1945, ada kesepakatan-kesepakatan untuk tidak mengubah pembukaan, tetap mempertahankan negara kesatuan, mempertegas sistem presidensiil, serta mengambil ketentuan dalam penjelasan UUD 1945 jika di dalamnya menyangkut aspek yang sangat normatif dan substansial, maka hal itu diangkat menjadi bagian dari batang tubuh UUD 1945.
“Kemudian cara kita mengamendemen adalah dengan cara adendum. Problemnya adalah ketika mengadendum UUD 1945, ada perubahan pertama pada 1999, ada perubahan pada 2000 dan seterusnya. Sebetulnya perubahan pertama itu melekat sebagai adendum dari UUD 1945 yang asli, kemudian perubahan kedua hingga keempat,” jelas Enny.
Perubahan UUD 1945 itu, ujar Enny, bersifat formal amendemen yang dilakukan oleh MPR, bukan dilakukan satu Komisi Konstitusi yang dibentuk untuk melakukan kajian terhadap UUD 1945. Hampir banyak negara yang mengalami transisi dalam kehidupan berdemokrasi, kemudian membentuk satu kelembagaan tersendiri untuk mengubah UUD. Oleh sebab itu, setelah amendemen UUD 1945 dilakukan, MPR mengeluarkan ketetapan untuk membentuk Komisi Konstitusi.
Enny menambahkan, reformasi juga menuntut pemajuan, perlindungan, penegakan hak asasi manusia, juga memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dan memberikan pembatasan kepada kekuasaan pusat. Lainnya, memberikan pembatasan kepada kekuasaan presiden, mengubah struktur kelembagaan negara. Hal itu semua adalah tuntutan-tuntutan yang diminta oleh para reformis.
Dikatakan Enny, sebelum dilakukan amendemen UUD 1945, yang dilakukan adalah perubahan Ketetapan (Tap) MPRS dan MPR. “Ini menarik sekali buat mahasiswa FH UGM untuk membaca Tap MPR dan MPRS sejak pertama kali diterbitkan yang berjumlah 139 ketetapan,” jelas Enny.
Aspek-Aspek Terkait
Bicara hukum tata negara, kata Enny, tak terlepas dari aspek-aspek terkait dengan hukum tata negara itu sendiri. Salah satunya adalah ilmu politik. Ketika bicara soal hukum tata negara, tidak bisa melepas begitu saja dari ilmu politik. Antara hukum tata negara dengan politik diibaratkan kerangka dengan daging yang tidak bisa dipisahkan. Hukum tata negara memberikan sebuah kerangka perilaku politik yang harus dilakukan, sehingga perilaku harus sejalan dengan kerangka hukum.
Lebih lanjut Enny menegaskan, UUD 1945 merupakan salah satu sumber hukum penting bagi para mahasiswa yang mendalami studi hukum tata negara. Selain ada juga sumber hukum penting lainnya, misalnya putusan Mahkamah Konstitusi maupun putusan Mahkamah Agung. Oleh karena itu, menurut pengakuan Enny, saat mengajar kuliah hukum tata negara, ia mewajibkan para mahasiswa untuk membawa UUD 1945 versi sebelum dan sesudah diamendemen setiap kali kuliah. Hal ini penting untuk membangun kehidupan sadar berkonsitusi.
“Kita terus mengkampanyekan bagaimana hidup sadar berkonstitusi. Selanjutnya kalau kita sudah menjadikan Konstitusi sebagai salah satu sumber hukum, kita juga harus memahami studi hukum tata negara tidak bisa terlepas dari dua komponen penting yaitu studi suprastruktur politik dan studi infrastruktur politik,” terang Enny.
Ketika seseorang melakukan studi hukum tata negara, ungkap Enny, dia akan studi mengenai bekerjanya kelengkapan alat-alat kelengkapan negara, tugas, fungsi dan wewenang, sejauhmana hal itu dilakukan sesuai UUD atau tidak.
“Sedangkan infrastruktur politik menjadi penyeimbang bagaimana bekerjanya suprastruktur politik, yang di dalamnya ada aspek yang terkait dengan parpol, media massa, organisasi massa, kelompok penekan, tokoh masyarakat dan sebagainya. Itu adalah sebagai penyeimbang supaya bekerjanya suprastruktur politik bisa selaras dengan koridor berkonstitusi,” urai Enny.
Enny melanjutkan, studi hukum tata negara memiliki dimensi yang sangat luas dan menarik, tidak pernah habis untuk didiskusikan dalam rangka menegakkan negara yang demokratis konstitusional. Misalnya terkait sistem presidensiil, apakah masih ada aspek sistem parlementer dalam sistem presidensiiil.
Disampaikan Enny, studi hukum tata negara mencakup berbagai aspek antara lain mengenai sejarah konstitusi di Indonesia dari masa kemerdekaan sampai amendemen UUD 1945, materi muatan UUD 1945, mengenai kekuasaan kehakiman, lembaga-lembaga tinggi negara pasca reformasi seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Selain itu, ada materi mengenai pengelolaan keuangan negara, termasuk UU Pengelolaan Keuangan Negara. Berikutnya ada materi mengenai hubungan pusat dan daerah yang bersifat dinamis, serta isu menarik mengenai kewarganegaraan dan hak asasi manusia.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.