JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Suhartoyo menjadi narasumber Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) secara virtual pada Sabtu (6/2/2021) siang Kegiatan ini diselenggarakan oleh Fakultas Hukum (FH) Universitas As-Syafi’iyah bekerja sama dengan Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia (DPC Peradi) Jakarta Barat.
Pada kesempatan itu, Suhartoyo secara gamblang menerangkan empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 serta UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dikatakan Suhartoyo, kewenangan utama MK adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pengujian undang-undang, apabila diperlukan, Presiden dan DPR dipanggil MK untuk diminta keterangan berkaitan dengan permohonan yang diajukan Pemohon. Namun Presiden dan DPR sebagai pembentuk undang-undang maupun lembaga negara lain bukan sebagai Pihak Tergugat atau Termohon yang harus melawan gugatan Pemohon. Presiden dan DPR hadir untuk memberikan keterangan.
Dalam pengujian undang-undang, tidak ada pihak Pemohon dan Termohon seperti pada peradilan umum. Hal ini karena yang diuji adalah norma undang-undang. “Berbeda dengan kewenangan MK lainnya, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara, memutus pembubaran parpol, memutus perselisihan hasil pemilihan umum yang murni merupakan kasus konkret. Di dalamnya ada pihak Pemohon dan Termohon, pihak Penggugat dan Tergugat sehingga dimensi perkaranya adalah sengketa peradilan” urai Suhartoyo kepada para peserta PKPA.
Pengujian Formil dan Materiil
Suhartoyo menyampaikan, dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar terdapat dua objek pengujian. Pertama, pengujian formil yang berkaitan dengan proses pembentukan Undang-Undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Kedua, pengujian materiil sebagai pengujian undang-undang yang berkenaan dengan substansi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
“Dalam pengujian formil dan materiil, bisa dilakukan pengujian formil saja, pengujian materiil saja, atau bisa kedua-duanya sekaligus,” kata Suhartoyo yang menyampaikan materi “Beracara di Mahkamah Konstitusi”.
Suhartoyo melanjutkan, selain menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, MK memiliki kewenangan memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, memutus pembubaran parpol, memutus perselisihan hasil pemilu serta kewajiban MK memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Masing-masing kewenangan dan kewajiban MK tersebut memiliki hukum acara yang berbeda-beda. Selain itu ada kewenangan MK dalam mengadili perselisihan hasil pilkada yang tidak diturunkan dari Konstitusi, tetapi dari Pasal 157 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Kewenangan ini bersifat sementara sampai dibentuknya peradilan khusus pemilu.
Selanjutnya, kata Suhartoyo, yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara.
Berikutnya, Suhartoyo menjelaskan mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK. Bahwa Pemohon dan atau Termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum, sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa. Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Esensinya agar memberi kemudahan pada access to justice untuk masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar advokat. Sepanjang yang bersangkutan menguasai dengan baik Hukum Acara MK. Selain itu, di MK dikenal adanya pendamping yang mengerti Hukum Acara MK, sepanjang bisa membantu kepentingan-kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK.
Alasan Pemohon Menguji Undang-Undang
Mengenai sistematika permohonan, ungkap Suhartoyo. terdiri atas identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum. Permohonan untuk berperkara ke MK dapat dilakukan secara offline maupun secara online.
Suhartoyo juga menerangkan sejumlah alasan pemohon menguji undang-undang ke MK, antara lain hak-hak konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, kerugian konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya Undang-Undang.
Lebih lanjut Suhartoyo menyinggung tahap persidangan di MK, dimulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan yang dihadiri Pemohon dan/atau kuasanya dipandu Panel Hakim MK yang terdiri dari tiga Hakim Konstitusi yang wajib memberikan nasihat dan masukan kepada Pemohon. Setelah itu ada sidang perbaikan permohonan yang masih dipandu dengan Panel Hakim MK. Tahap berikutnya, sidang pembuktian untuk mendatangkan ahli, pihak Pemerintah, DPR, MPR atau lembaga-lembaga lainnya untuk memberikan keterangan. Termasuk juga menghadirkan para saksi. Tahap akhir adalah sidang pengucapan putusan. Sidang pengujian Undang-Undang tidak menghadirkan pihak Termohon karena objeknya pengujian Undang-Undang. Berbeda dengan sidang perselisihan hasil pemilu maupun pilkada yang menghadirkan pihak Pemohon, Termohon, Bawaslu, Pihak Terkait.
Bicara Putusan MK, ujar Suhartoyo, bersifat erga omnes. Meskipun dimohonkan oleh perseorangan atau individu, namun keberlakuan putusan bersifat umum dan memengaruhi hukum di Indonesia. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari