JAKARTA (SINDO) â Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan, laporan keuangan Mahkamah Agung (MA) terancam disclaimer( tidak memperoleh tanggapan).
Menurut auditor utama (tortama) III BPK Soekoyo, MA belum menyampaikan data pungutan biaya perkara 2007. âPadahal, seharusnya MA sudah menyampaikan laporan keuangannya itu sebelum akhir Februari lalu,â tandas Soekoyo di Gedung BPK Jakarta kemarin. Menurut dia, laporan keuangan MA merupakan entitas dari laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) 2007. Opini pada laporan keuangan MA ini terbuka kemungkinan berpengaruh pada opini BPK tentang LKPP itu.
âJika besarannya signifikan, bisa saja memengaruhi LKPP,â kata dia. Menurut Soekoyo, laporan keuangan MA 2006, juga memperoleh opini serupa. Akar permasalahannya juga tetap pada tidak adanya laporan tentang pungutan biaya perkara, selain persoalan pencatatan aset. Terkait pemeriksaan biaya perkara, jelas Soekoyo, BPK akan tetap berupaya agar bisa memeriksanya. Berdasarkan UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pelaksanaan Keuangan Negara, BPK tetap berwenang melakukan audit terhadap biaya perkara itu.
Menurut dia, dalam perspektif BPK, biaya perkara tetap merupakan bagian dari keuangan negara. Sebab, biaya perkara terkait jasa negara di bidang layanan publik meski MA melihatnya sebagai dana titipan pihak ketiga. âBahkan, kita tidak akan menunggu keluarnya peraturan pemerintah (PP) tentang pemeriksaan biaya perkara yang belum rampung. Sebab, bagaimanapun isinya, kita memiliki dasar hukum lebih kuat, UU 15/2004 yang memungkinkan kita memeriksa setiap satu sen sekalipun uang negara,â papar dia.
Menanggapi hal ini, Juru Bicara MA Djoko Sarwoko mengatakan, MA bukannya tidak mau diaudit oleh BPK terkait uang biaya perkara, tetapi MA masih menunggu Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Karena itu, MA tetap berpendapat bahwa BPK hanya berwenang mengaudit uang negara.
âBiaya perkara yang diterima dari pihak yang beperkara adalah wajar untuk biaya proses dalam persidangan dan lain-lain,â ujarnya. Atas dasar itu, biaya perkara baru pasti menjadi uang negara setelah perkara diputus, yaitu ditentukan siapa yang dihukum untuk membayar biaya perkara. âDi dalam biaya perkara itulah ada PNBP,â tandasnya. (zaenal muttaqin/rahmat sahid)
Sumber www.seputar-indonesia.com
Foto www.swidodo.wordpress.com