Ini adalah salah satu kasus kecelakaan lalu lintas yang perkaranya masuk ke Mahkamah Agung. Mobil mogok yang tidak menggunakan tanda pengaman berujung pada kematian. Putusan pengadilan tak ikut mendidik masyarakat berlalu lintas?
Mobil mogok adalah pemandangan sehari-hari di Ibukota dimana usia kendaraan yang boleh melewati jalan arteri tidak dibatasi. Angkutan umum tiba-tiba berhenti di tengah jalan sudah lazim terjadi. Normatifnya, kalau ada mobil yang mogok, pengemudi harus membuat tanda. Lazimnya, salah satu tanda itu adalah segitiga pengaman yang diletakkan di belakang mobil dengan maksud agar pengemudi lain berhati-hati.
Tetapi, untuk mendapatkan pengemudi yang mematuhi pemasangan segitiga pengaman di Ibukota tentu cukup sulit. Pengendara umumnya cukup memasang ranting pohon atau rerumputan di sisi kanan mobil. Soal lalu lintas macet karenanya, seolah bukan urusan pengendara. Sopir angkutan kota mungkin berujar di dalam hati: egepe. Emangnya gue pikirin!
Ketiadaan rambu lalu lintas yang memadai di belakang mobil mogok sebenarnya bisa menimbulkan kecelakaan. Bahkan kalau fatal berakibat kematian. Seperti yang dialami oleh keluarga Achmad Sayidi. Mengendarai sepeda motor di sore hari, Sayidi membonceng isterinya Fatimatus Zuhro, dan anak balitanya Abin, meluncur melewati jalan raya Bondowoso â Situbondo, Jawa Timur. Suasana sudah mulai gelap ketika mereka memasuki jalan raya di desa Gunosari, Kecamatan Tlogosari, Bondowoso.
Tanpa sepengetahuan Sayidi, di ujung jalan yang mereka lalui sebuah truk Mercy bernomor polisi P-7664-G bermuatan tebu tengah berhenti. Truk yang dikendarai Suwito itu sudah parkir di pinggir jalan dua jam sebelum Sayidi datang. Roda depan truk meletus. Meski sudah parkir selama dua jam, Suwito tak memasang tanda segitiga pengaman, demikian pula lampu sign. Ia hanya mengikat plastik putih di ujung pohon tebu yang dia angkut.
Kuat dugaan Sayidi tak melihat keberadaan truk di tengah remang-remang menjelang maghrib dan minus tanda lalu lintas. Tabrakan tak bisa dihindarkan. Nyawa Sayidi dan si kecil Abin tak dapat tertolong. Sang isteri juga luka-luka, tetapi masih hidup. Hasil visum et repertum dokter menyimpulkan ada persentuhan korban dengan benda tumpul.
Insiden itu akhirnya bermuara ke pengadilan. Suwito duduk di kursi pesakitan. Jaksa menjeratnya dengan pasal 359 dan 360 ayat (2) KUHP. Yakin bahwa terdakwa telah alpa yang menyebabkan kematian orang lain dan luka-luka, terdakwa menuntut Suwito hukuman 1 tahun 6 bulan penjara. Anehnya, meskipun yakin terdakwa bersalah, jaksa malah tidak meminta SIM terdakwa dicabut, melainkan dikembalikan kepada terdakwa.
Majelis hakim PN Bondowoso tidak sepakat dengan jaksa. Majelis menilai kedua dakwaan jaksa tidak terbukti, sehingga terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan. Jaksa mengajukan kasasi. Salah satu yang sejak awal menjadi perdebatan di persidangan dan menjadi bahan memori kasasi jaksa adalah kewajiban memasang tanda segitiga pengaman atau lampu sign. Jaksa menuding hakim tingkat pertama telah keliru dan tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya.
Dalam persidangan tingkat pertama, terdakwa mengakui tidak memadang tanda segitiga pengaman. Bagi jaksa, kealpaan terdakwa Suwito telah menyebabkan terjadinya tabrakan yang menyebabkan kematian korban. Ada hubungan tidak dipasangnya tanda lalu lintas dengan terjadinya kecelakaan yang berakibat matinya korban. âSeharusnya terdakwa selaku sopir truk berusaha memberikan sesuatu tanda untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,â urai jaksa dalam memori kasasinya.
Nah, perkara ini akhirnya diputus Mahkamah Agung. Majelis hakim agung beranggotakan German Hoediarto, M. Imron Anwari, dan Timur P. Manurung sebenarnya sudah memutus perkara ini pada awal Januari 2008, tetapi salinannya baru diperoleh hukumonline. Sependapat dengan hakim tingkat pertama, MA akhirnya ikut membebaskan terdakwa. Permohonan kasasi jaksa tidak dapat diterima. Hakim agung sama sekali tak menyinggung hubungan antara kecelakaan dan kematian korban dengan kelalaian pengemudi memasang alat-alat pengaman lalu lintas. Yang dijadikan dasar adalah ketidakmampuan jaksa membuktikan sifat tidak murni dari putusan bebas terdakwa.
Staf pengajar mata kuliah "sosiologi prilaku menyimpang" Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Dadang Sudiadi berpendapat pelanggaran aturan lalu lintas semacam itu seolah mendapat pembenaran karena masyarakat juga menganggap pemasangan ranting pohon atau dedaunan pada angkutan yang mogok sudah biasa. "Kesalahan" itu dinilai Dadang sudah tersosialisasi di benak warga Ibukota. Lama kelamaan, kebiasaan memasang ranting atau dedaunan dianggap lumrah. Tanda resmi seperti segitiga pengaman akhirnya diabaikan.
Selain tidak sesuai aturan, pemasangan ranting pada mobil mogok atau berhenti memiliki kelemahan. Ia tidak mengeluarkan spotlight pada malam hari sebagaimana halnya segitiga pengaman. Dadang menilai pelanggaran lalu lintas --yang menimbulkan kasus seperti diputus MA â terjadi karena lemahnya kontrol aparat lalu lintas, kurangnya sosialisasi, dan minimnya kesadaran hukum masyarakat.
(Mys/CRR)
Sumber www.hukumonline.com
Foto www.embassyofheaven.com