JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menunda sidang pemeriksaan perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 ihwal pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sedianya persidangan pada Senin (18/1/2021) beragendakan mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah. Namun DPR berhalangan hadir karena bersamaan dengan agenda rapat DPR.
“Dari DPR ada surat pemberitahuan, tidak bisa menghadiri sidang hari ini karena bersamaan dengan Agenda Rapat DPR,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Sementara itu, perwakilan Pemerintah yang hadir secara virtual pada sidang kali ini yakni I Ketut Hadi Priatna dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Budi Setiawati dari Kementerian Sekretariat Negara, Fajrimei Abdulgofar dari Kantor Staf Presiden, serta Ardiansyah dan Wawan Zubaedi dari Kementerian Hukum dan HAM. Pemerintah melalui suratnya juga memohon penundaan sidang.
“Kami sudah mengirimkan surat ke Mahkamah Konstitusi untuk mohon penundaan persidangan untuk menyampaikan keterangan Presiden,” kata Wawan Zubaedi.
Menanggapi hal tersebut, Anwar Usman menanyakan alasan Pemerintah sehubungan permintaan penudaan sidang.
“Kami dari Pihak Pemerintah masih membutuhkan waktu, memerlukan waktu untuk menyusun keterangan pemerintah terhadap permohonan dari Pihak Pemohon,” jawab I Ketut Hadi Priatna.
Baca Juga:
UU Cipta Kerja Dituding Jadikan Pendidikan sebagai Ladang Bisnis
Pemohon Uji UU Cipta Kerja Ajukan Permohonan Provisi
Untuk diketahui, permohonan perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 ihwal pengujian UU Cipta Kerja, diajukan oleh Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas (Pemohon I), Novita Widyana (Pemohon II), Elin Dian Sulistiyowati (Pemohon III), Alin Septiana (Pemohon IV) dan Ali Sujito (Pemohon V). Para Pemohon merupakan perseorangan warga negara Indonesia yang merasa dirugikan hak konstitusional mereka secara potensial dalam penalaran yang wajar dapat terjadi apabila diberlakukan UU Cipta Kerja. Hak konstitusional dimaksud yaitu hak untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pemohon I pernah berkerja di perusahaan dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang ditempatkan sebagai Technician Helper. Namun dengan adanya pandemi Covid, Pemohon I mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dari tempatnya bekerja. Hingga saat ini Pemohon I sedang berupaya mencari pekerjaan di tempat yang membutuhkan pengalaman sebagai Technician Helper atau yang sejenis. Dengan diberlakukan UU Cipta Kerja, terdapat ketentuan norma yang menghapus aturan mengenai jangka waktu PKWT atau Pekerja Kontrak sebagaimana Pasal 81 UU Cipta Kerja. Hal ini menghapus kesempatan warga negara untuk mendapatkan Perjanjian Kerja Tidak Tertentu atau Pekerja Tetap. Selain itu UU Cipta Kerja pada kluster Ketenagakerjaan juga terdapat ketentuan-ketentuan norma yang merugikan hak konstitusional Pemohon I untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Norma tersebut di antaranya memangkas waktu istirahat mingguan, menghapus sebagian kebijakan pengupahan yang melindungi buruh, menghapus sanksi bagi pelaku usaha yang tidak bayar upah.
Sedangkan Pemohon II adalah Pelajar SMK Negeri I Ngawi, jurusan Administrasi dan Tata Kelola Perkantoran. Setelah lulus SMK, Pemohon II pasti akan mencari pekerjaan sesuai dengan apa yang dipelajari di sekolah. Menurut kuasa hukum Pemohon, bahwa Pemohon II berpotensi menjadi pekerja kontrak dengan waktu tertentu tanpa ada harapan menjadi pekerja kontrak dengan waktu tidak tertentu, apabila UU Cipta Kerja di berlakukan.
Selanjutnya, Pemohon III adalah mahasiswi pada program studi S1 Administrasi Pendidikan di Universitas Brawijaya dan Pemohon IV adalah mahasiswi pada program studi S1 Pendidikan Administrasi Perkantoran di Universitas Negeri Malang. Berikutnya, Pemohon V adalah mahasiswa pada program studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan Modern Ngawi (STIKP Modern Ngawi).
Menurut para Pemohon, berlakunya UU Cipta Kerja yang diyakini akan menjadikan pendidikan menjadi ladang bisnis yaitu kapitalisasi terhadap dunia pendidikan dapat dilihat pada ketentuan norma Pasal 150 UU Cipta Kerja yang mengubah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (UU KEK) dengan mengubah Pasal 3 dan memasukkan pendidikan ke dalam kegiatan usaha Kawasan Ekonomi Khusus.
Para Pemohon menyampaikan alasan bahwa UU Cipta kerja merupakan Undang-Undang yang menerapkan konsep Omnibus Law dengan tujuan melakukan penyederhanaan pengaturan dengan mengubah 78 (tujuh puluh delapan) Undang-Undang ke dalam 1 (satu) UU Cipta Kerja yang terbagi atas 11 klaster. Dari 78 Undang-Undang yang materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian ketentuan normanya diubah ataupun dihapus pada saat proses pembahasan, terdapat beberapa pelanggaran terhadap asas pembentukan peraturan perundang-undangan, di antaranya, asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan.
Kemudian pada 5 Oktober 2020 DPR bersama Presiden telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang dengan draf RUU Cipta Kerja sebanyak 905 halaman. Namun kemudian, Badan Legislatif (Baleg) mengatakan bahwa draf 905 halaman tersebut belum final, dan sedang di lakukan finalisasi. Adapula beredar draf RUU Cipta Kerja sebanyak 1035 halaman yang dinyatakan oleh Sekretaris Jenderal DPR sebagai draf final RUU Cipta Kerja.
Setelah dicek antara draf RUU Cipta Kerja versi 905 halaman hasil persetujuan bersama DPR dan Presiden pada 5 Oktober 2020 dengan draf RUU Cipta Kerja 1035 in casu bertambah 130 halaman, dengan terdapat adanya perubahan-perubahan substansi. Namun kemudian Sekretaris Jenderal DPR kembali menyatakan dalam keterangannya bahwa draf yang beredar dengan jumlah 812 halaman merupakan hasil perbaikan terkini yang dilakukan DPR. Perubahan draf RUU Cipta Kerja tersebut secara nyata dan terang benderang bukan terkait teknis penulisan, namun perubahan terkait dengan substansi materi muatan. Hal ini telah melanggar ketentuan norma Pasal 72 ayat (2) UU No. 12/2011 beserta penjelasannya.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.