JAKARTA, HUMAS MKRI - Permohonan pengujian Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan oleh Dewantari Handayani, Amriyati Amin, Martina Nasution, Nugroho Suryaningrat dan Irma Shandra Santy, tidak dapat diterima oleh MK. Menurut MK, tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara keberlakuan pasal yang diujikan dengan kerugian konstitusional para Pemohon sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Anwar Usman bersama delapan hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 88/PUU-XVIII/2020, Kamis (14/1/2021), secara daring dari Ruang Sidang Pleno MK.
Para Pemohon mengujikan adalah Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) yang menyatakan, “Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.”
Para Pemohon merasa telah dirugikan dengan dikabulkannya permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terhadap PT Prospek Duta Sukses (PDS) selaku pengembang apartemen. Para Pemohon merupakan pembeli unit Apartemen Antasari 45 kepada pengembang PT PDS selaku pihak pengembang atau developer yang dipasarkan sejak tahun 2014 dan berdasarkan perjanjian kepada konsumen/pembeli unit akan diserahterimakan pada tahun 2017. Akan tetapi sampai dengan awal tahun 2020 pembangunan tidak selesai seperti yang dijanjikan.
Baca Juga:
Pembeli Unit Apartemen Uji Ketentuan Pengembang Pailit
Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya mengatakan, permohonan para Pemohon bertolak pada kasus konkret yang dialaminya. Para Pemohon menginginkan posisinya disamakan dengan Kreditor Preferen atau Kreditor Separatis dengan cara menguji konstitusionalitas norma Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU ke MK.
MK berpandangan, penyelesaian permasalahan yang dihadapi para Pemohon dengan pengembang Apartemen Antasari 45 telah diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan yang tidak ada kaitannya dengan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU karena Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU adalah ketentuan yang mengatur mengenai Kreditor Separatis atau kreditor pemegang hak jaminan (secured creditor) yang memeroleh hak atas pelunasan piutang lebih dahulu (Kreditor Preferen) karena secara hukum menguasai langsung jaminan kebendaannya. Hal ini jelas berbeda dengan Kreditor Konkuren sebagaimana status para Pemohon yang tidak mempunyai hak untuk menguasai jaminan berupa benda. Oleh karena itu, penyelesaian permasalahan yang dialaminya sebagai Kreditor Konkuren dilakukan setelah kewajiban terhadap kreditor lain (Kreditor Separatis atau Kreditor Preferen) diberikan.
Terlebih lagi, Kreditor Separatis tidak terkena dampak akibat adanya putusan pernyataan pailit debitor. Artinya, hak-hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seolah-olah tidak ada kepailitan debitor karena kreditor golongan ini dapat menjual sendiri barang-barang yang menjadi jaminan. Dengan demikian, dalam hubungan dengan aset-aset yang dijadikan jaminan, kedudukan Kreditor Separatis sangat tinggi, lebih tinggi dari kreditor yang diistimewakan lainnya.
Disebutkan MK, para Pemohon sesungguhnya pada awalnya bukanlah merupakan Kreditor Konkuren, melainkan sebagai konsumen atau pembeli unit Apartemen Antasari 45 yang saat ini sedang menghadapi permasalahan dengan pihak pengembang apartemen yang telah dinyatakan pailit. Oleh karenanya berdasarkan putusan pailit tersebut, para Pemohon statusnya dipersamakan dengan Kreditor Konkuren sehingga dengan demikian tidak dapat memaksakan dirinya untuk menjadi Kreditor Separatis atau Kreditor Preferen dengan cara menguji Pasal 55 Ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU dengan alasan seolah-olah para Pemohon dirugikan dengan berlakunya pasal a quo.
MK berpandangan, kerugian yang dialami oleh para Pemohon sebagai Konsumen tidak berkorelasi dengan berlakunya norma Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, sehingga penyelesaiannya bukanlah melalui pengujian konstitusionalitas norma tetapi melalui upaya hukum yang lain atau memposisikan diri tetap sebagai Kreditor Konkuren. Oleh karena itu, MK berkesimpulan tidak terdapat adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara keberlakuan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU dengan kerugian yang diderita oleh para Pemohon berkaitan dengan hak konstitusional sebagaimanan diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah, para Pemohon tidak dapat menerangkan kerugian konstitusionalnya, baik aktual maupun potensial dengan berlakunya Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU. Oleh karenanya, para Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum untuk mengajukan Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.
https://youtu.be/orle3RCiQAI