JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU Hak Tanggungan). Permohonan perkara yang teregistrasi Nomor 84/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Rosmanidar yang merupakan Ibu Rumah Tangga. Dalam Sidang Pengucapan Putusan yang digelar pada Kamis (14/1/2021) ini, Pemohon menyatakan Pasal 6 UU Hak Tanggungan bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945.
Melalui Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, Mahkamah dalam pertimbangan hukum menyebutkan bahwa isi perikatan atau perjanjian selalu berupa kewajiban yang berpasangan dengan hak, yaitu kewajiban salah satu pihak merupakan hak bagi pihak yang lain, dan demikian pula sebaliknya. Perikatan atau perjanjian adalah perimbangan antara prestasi yang kemudian mengharuskan adanya tindakan kontra-prestasi dari pihak yang memperoleh prestasi. Atas hal ini, dalam kaitannya antara perjanjian kredit dengan dengan pewarisan, terdapat pertanyaan yang harus dijawab lebih dahulu oleh Mahkamah apakah utang dapat atau boleh diwariskan.
Dijabarkan oleh Manahan, selama ini dikenal beberapa skema hukum mengenai pengalihan suatu perikatan utang piutang kepada pihak lain, di antaranya cessie, subrogasi, dan novasi. Ketiga skema pengalihan ini merupakan pengalihan hak kreditor yang sifatnya pilihan. Artinya, pihak yang akan mengambil alih utang debitor berada dalam posisi bebas untuk memilih pihaknya akan mengambil alih utang debitor atau tidak. Kebebasan ini dilandasi oleh pemahaman akan risiko pengambilalihan utang yang menempatkan pihak pengambil alih ini sebagai debitor baru terhadap kreditor. Menurut Mahkamah, kebebasan memilih menjadi hal penting dalam memahami skema peralihan utang-piutang. Pentingnya hal ini, sambung Manahan, dilandasi pada situasi piutang memberikan suatu hak untuk menagih atau mendapatkan prestasi pada pemegangnya. Sementara itu, utang adalah suatu kewajiban untuk melakukan sesuatu.
“Sehingga kebebasan memilih yang dilandasi kesadaran atau pengetahuan sebagaimana yang terdapat pada skema peralihan utang piutang tidak selalu terjadi dalam skema pewarisan,” sampai Manahan dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK dengen penerapan protokol kesehatan.
Baca Juga: Ahli Waris Debitur Minta Diatur dalam UU Hak Tanggungan
Konsep Peralihan Utang Piutang
Selanjutnya, Manahan menerangkan bahwa secara prinsip membedakan antara konsep peralihan hak atau kewajiban dalam perikatan utang piutang dengan konsep peralihan hak atau kewajiban dalam suatu hubungan waris-mewaris. Pewarisan utang yakni pewarisan yang objek warisnya berupa utang atau kewajiban tertentu termuat dalam konsep hukum perdata positif Indonesia, yang di dalamnya terdapat dua jenis perspektif hukum, yakni Hukum Islam dan Hukum Perdata.
Menimbang dari dua perspektif hukum waris ini, Mahkamah berpendapat suatu perikatan atau perjanjian kontraktual pada dasarnya tidak mengikat pihak ketiga yang tidak melibatkan diri dalam suatu perjanjian kontraktual. Setidaknya pihak ketiga tersebut pun mempunyai hak untuk menolak terlibat dalam suatu perjanjian kontraktual yang dibuat tanpa persetujuan darinya. Dalam kaitannya dengan pewarisan, Mahkamah menyatakan suatu perikatan utang-piutang antara debitor dengan kreditor tidak mutlak mengikat ahli waris debitor. Dengan arti kata, keberadaan ahli waris setelah debitor meninggal tidak menjadikan ahli waris tersebut secara otomatis dan mutlak sebagai debitor baru yang menggantikan kedudukan debitor yang telah meninggal.
“Hal ini kemudian bergantung pada pilihan hukum perdata masing-masing Warga Negara Indonesia, apakah menundukkan diri pada Hukum Islam atau menundukkan diri pada KUH Perdata, yang mana dalam perkara a quo kedua ketentuan waris dimaksud bukan merupakan objek pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan oleh Pemohon,” jelas Manahan.
Baca juga: Pemohon Uji UU Hak Tanggungan Pertegas Alasan Permohonan
Perlu Ada Ketentuan Khusus
Selanjutnya Manahan mengatakan bahwa seharusnya ada ketentuan yang komprehensif mengatur pelaksanaan eksekusi hak tanggungan ketika debitor dalam suatu perjanjian utang piutang yang dilekati hak tanggungan telah meninggal dunia sebelum dapat menyelesaikan kewajibannya. Ketentuan tersebut secara adil harus mempertimbangkan kultur berhukum Indonesia seperti pada ranah hukum perdata terdapat keragaman pengaturan mengenai waris. Mahkamah menilai hal tersebut tidak lain demi memberikan penghormatan atau memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang dengan itikad baik menundukkan dirinya dalam suatu perikatan, yaitu kreditor maupun debitor yang kemudian menjadi pewaris.
Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan setelah debitor (H. Mardi Can) meninggal dunia telah terjadi pencairan asuransi untuk pelunasan kredit debitor dimaksud, namun kreditor tetap melakukan penjualan objek hak tanggungan berdasarkan Pasal 6 UU 4/1996 melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Bandung. Akan tetapi, terhadap dalil tersebut Pemohon tidak menjelaskan maupun membuktikan lebih lanjut mengenai terjadinya pencairan asuransi demikian, hal demikian bersifat kasuistis yang tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma.
“Dengan kata lain Mahkamah berpandangan permasalahan demikian merupakan permasalahan implementasi atau penerapan norma undang-undang, yang penyelesaiannya bukan merupakan kewenangan Mahkamah,” kata Manahan.
Ketiadaan ketentuan dalam UU 4/1996 yang mengatur mengenai peralihan objek waris dalam kaitannya dengan hak tanggungan seolah-olah merupakan kekosongan hukum. Namun sebenarnya telah tersedia pengaturannya dalam lapangan Hukum Perdata Islam maupun dalam KUH Perdata. Berdasarkan pertimbangan Mahkamah, dalil Pemohon yang menghubungkan ketentuan eksekusi hak tanggungan dengan terhalangnya Pemohon untuk mewarisi utang dan segala kewajiban hukum debitor adalah tidak berdasar. Apabila ketentuan Pasal 6 UU 4/1996 dihilangkan justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang lain. Dengan demikian, permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Tiara Agustina
https://youtu.be/zoaVnbY6GUc