JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 41/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Taufik Surya Dharma selaku mantan Pengurus PT United Coal Indonesia (PT UCI) yang sudah dinyatakan pailit melalui putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2015 silam.
“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya, “Demikian disampaikan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan pengucapan putusan yang digelar pada Kamis (14/1).
Baca juga: Terbebani Tagihan Pajak Perseroan Pailit, UU KUP Diuji
Sebelumnya, Pemohon keberatan dengan berlakunya Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP. Menurut Pemohon, kedua pasal tersebut telah dijadikan dasar oleh Kantor Pelayanan Pajak Besar Satu Jakarta Selatan (KPP Wajib Pajak Besar Satu) untuk melakukan penagihan pajak PT UCI yang dibebankan kepada Pemohon secara pribadi dengan jumlah yang sangat fantastis sebesar Rp193.625.721.483,00. Hal ini terjadi hanya karena Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Badan atas nama PT UCI (dalam pailit) belum dihapus. Padahal, perusahaan tersebut sudah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan seluruh boedel harta pailit dilakukan pemberesan oleh Kurator.
Keberatan Pemohon semakin beralasan, selain dibebani tagihan pajak atas perseroan yang sudah pailit, Pemohon juga mendapat surat dari KPP Wajib Pajak Besar Satu yang isinya berupa perintah untuk memberikan kuasa kepada bank BCA Kuningan untuk memberitahukan saldo harta kekayaan penanggung pajak yang tersimpan pada bank atas nama Pemohon pada 26 Desember 2019. Hal ini berdampak harta pribadi Pemohon terancam diambil paksa untuk melunasi hutang pajak perusahaan PT UCI. Padahal, pada saat pengurusan boedel pailit PT UCI, permohonan pembagian dari KPP Wajib Pajak Besar Satu telah dikabulkan oleh hakim pengawas dan utang pajak tersebut telah dibayarkan oleh kurator yang besarnya sesuai penetapan hakim.
Baca juga: DPR: Mantan Pengurus Harus Tanggung Jawab atas Utang Pajak Perseroan
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, sebagai sebuah identitas, NPWP bukan merupakan hal yang menyebabkan munculnya tagihan pajak. Tagihan pajak atau utang pajak muncul karena aktivitas keuangan yang dilakukan oleh setiap Wajib Pajak baik perorangan atau pun badan hukum, sementara NPWP merupakan identitas yang digunakan sebagai salah satu instrumen untuk menagihkan utang pajak tersebut kepada Wajib Pajak.
Arief melanjutkan, maka hal itu berarti terhadap tagihan pajak dapat dibebankan—baik pada orang yang memiliki NPWP atau orang yang tidak memiliki NPWP—yang disebabkan adanya perhitungan aktivitas keuangan yang memberikan nilai tambah dan keuntungan kepada Wajib Pajak. NPWP juga bukan merupakan sebuah aktivitas maupun dokumen hukum yang memunculkan status Wajib Pajak. Status Wajib Pajak lahir ketika entitas tertentu, baik perorangan atau pun badan hukum, melakukan kegiatan ekonomi khususnya kegiatan finansial yang menghasilkan nilai lebih/keuntungan.
Baca juga: Ahli Pemohon: Harta Perusahaan Pailit Diurus Kurator
Lebih lanjut, Arief menjelaskan, seandainya permohonan dikabulkan, yaitu Pasal 32 ayat (2) UU KUP dimaknai “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”, maka NPWP perusahaan (di mana Pemohon bertindak sebagai penanggung pajak) memang akan hapus. Akan tetapi, menurut Mahkamah hapusnya NPWP demikian tidak lantas menghilangkan status perusahaan dan/atau Pemohon sebagai Wajib Pajak. Hal demikian karena status Wajib Pajak timbul bukan karena adanya NPWP melainkan karena terpenuhinya syarat subjektif dan syarat objektif yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU 7/1983).
Dengan demikian, menurut Mahkamah jika Pemohon berkehendak agar dengan hapusnya NPWP perusahaan, maka Pemohon menjadi penanggung pajak lantas berakibat hapusnya pula kewajiban perpajakan perusahaan bersangkutan, justru hal tersebut tidak akan tercapai. Seandainya pun Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon yaitu menambahkan makna pada Pasal 2 ayat (6) UU KUP agar penghapusan NPWP oleh Dirjen Pajak meliputi juga bagi Wajib Pajak badan yang telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Selain itu, Mahkamah juga berpendapat pajak tetap dapat dikenakan atas keuntungan/laba yang telah timbul akibat operasional perusahaan sebelum perusahaan dinyatakan pailit, dan juga dapat dikenakan atas keuntungan yang baru diterima ketika perusahaan telah berstatus pailit. Adalah sangat mungkin sebagian laba atau bahkan keseluruhan laba secara teknis baru diterima perusahaan beberapa saat setelah transaksi terjadi, di mana laba diterima pada saat perusahaan sudah dinyatakan pailit.
Lebih lanjut, pemberesan utang-utang badan yang telah dinyatakan pailit terhadap pihak lain haruslah dilakukan oleh kurator bersama-sama dengan penyelesaian/pemberesan kewajiban-kewajiban lainnya. Adapun tanggung jawab yang harus ditanggung oleh pengurus badan sangat tergantung pada sejauh mana kerugian timbul akibat adanya unsur kelalaian atau kesengajaan dari pengurus pada saat masih aktif menjalankan kepengurusan badan yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan mekanisme penyelesaian kerugian yang bermula dari kelalaian atau kesengajaan pengurus, hal demikian bukan merupakan kewenangan MK. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Annisa Lestari
https://youtu.be/zoaVnbY6GUc