JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak dapat diterima. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 74/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Rizal Ramli (Pemohon I) dan Abdulrachim Kresno (Pemohon II). Keduanya mendalilkan Pasal 222 terkait ambang batas perolehan suara bagi pemilihan presiden (presidential threshold) melanggar hak konstitusional keduanya. Rizal Ramli selaku Pemohon Prinsipal menjelaskan bahwa dirinya dan Pemohon II hendak mencalonkan diri sebagai presiden dalam Pemilu 2024. Namun keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu dinilai telah menghambat proses pencalonan para Pemohon.
“Pokok permohonan pemohon tidak bisa dipertimbangkan. Mengadili permohonan pemohon tidak dapat diterima," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang MK yang disiarkan lewat channel YouTube MK, pada Kamis (14/1/2021).
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah berpendapat hal yang dipermasalahkan kedua Pemohon bukanlah masalah konstitusionalitas norma. Pemohon I mendalilkan beberapa kali mendapat dukungan publik dari beberapa partai politik untuk mencalonkan diri sebagai calon Presiden dan dimintakan untuk membayar sejumlah uang, namun tidak terdapat bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa Pemohon I pernah dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon Presiden. Seandainya Pemohon I memang benar didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, dalam batas penalaran yang wajar, Pemohon I mestinya menunjukkan bukti dukungan itu kepada Mahkamah atau menyertakan partai politik pendukung untuk mengajukan permohonan bersama dengan Pemohon I.
“Berkenaan dengan argumentasi Pemohon I mengenai kerugian potensial yang terjadi ketika mendeklarasikan diri dalam pemilihan presiden dan wakil presiden harus membayar sejumlah uang kepada partai politik tertentu, hal tersebut adalah persoalan yang tidak relevan karena dalam ketentuan norma a quo tidak ditemukan ketentuan dimaksud. Dengan demikian, Pemohon I tidak mengalami kerugian dengan berlakunya norma a quo serta tidak terdapat pula hubungan sebab akibat antara anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian. Apalagi klaim tersebut tidak didukung dengan bukti yang bisa meyakinkan Mahkamah. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat Pemohon I tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” ujar Arief.
Sementara terkait dengan berkenaan dengan kerugian Pemohon II (Abdulrachim Kresno), lanjut Arief, menurut Mahkamah, Pemohon II tidak memiliki kerugian konstitusional karena pada saat menggunakan hak pilihnya pada Pemilu anggota legislatif tahun 2019 dianggap telah mengetahui bahwa hasil hak pilih Pemohon akan digunakan juga sebagai bagian dari persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik dalam Pemilu serentak tahun 2024.
Pendapat Berbeda
Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam membacakan pendapatnya mengatakan bahwa mayoritas Hakim Konstitusi menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Karena alasan kedua Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, sehingga amar putusan menyatakan permohon para Pemohon tidak dapat diterima.
“Demi melindungi hak konstitusional warga negara, kami berpendapat tidak terdapat alasan yang mendasar untuk menyatakan Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum mengajukan permohonan a quo. Karena itu, seharusnya MK memberikan kedudukan hukum bagi Pemohon II untuk mengajukan permohonan a quo. Dengan diberikannya kedudukan hukum bagi Pemohon II, MK seharusnya mempertimbangan pokok permohonan yang diajukan Pemohon II, “jelas Saldi.
Saldi menerangkan, dalam menjelaskan keterpenuhan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK juncto Pasal 3 PMK 6/2005 sebagai salah satu persyaratan formal untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, Pemohon II menerangkan anggapan kerugian hak konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya Pasal 222 UU 7/2017.
Menurutnya, Pemohon II telah menjelaskan hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, antara lain setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Kedua, sebagaimana dijelaskan Pemohon II, pemberlakuan norma Pasal 222 UU 7/2017 dinilai atau dianggap telah merugikan hak konstitusional dimaksud.
Lebih lanjut, secara gamblang Pemohon II menerangkan ihwal kerugian konstitusional dimaksud bersifat spesifik dan secara aktual kerugian tersebut telah terjadi dalam penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung sejak tahun 2004. Tak hanya itu, ditambahkan juga oleh Pemohon II, selama substansi norma Pasal 222 UU 7/2017 masih tetap berlaku, dalam batas penalaran yang wajar, potensi kerugian akan berulang atau tetap terjadi dalam penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden masa depan. Saldi mengatakan, uraian ketiga alasan tersebut sekaligus menjadi bangunan argumentasi (penjelasan) adanya hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara kerugian hak konstitusional Pemohon II dengan berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017. Dengan rangkaian penjelasan tersebut, Pemohon II telah menguraikan perihal kemungkinan bilamana permohonan a quo dikabulkan, kerugian konstitusional yang diuraikan tidak akan atau tidak lagi terjadi. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Andhini S.F
https://youtu.be/RNMoFArP_94