JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menjadi narasumber Kongres ke-VI Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI). Kegiatan bertema “Posisi Strategis Lembaga Keumatan Kristen dalam Sistem Politik Indonesia” ini diselenggarakan secara virtual pada Kamis (17/12/2020) sore.
Di awal paparan, Daniel menerangkan keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai sebuah lembaga negara dalam supra struktur politik setelah perubahan UUD 1945. Sebelum perubahan UUD 1945, kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Setelah perubahan UUD 1945, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara namun kedudukannya sejajar dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya.
“Sebenarnya, struktur ketatanegaraan Indonesia sebelum perubahan UUD 1945 bersifat duo politico. Di satu sisi ada kekuasaan politik yang dipegang oleh MPR. Di sisi lain, ada kekuasaan hukum yang dipegang oleh MA,” kata Daniel.
Sistem ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD 1945 memiliki ruang lingkup yang besar, ada Presiden, DPR, MPR, DPD, MA, MK, BPK dan lainnya. Setiap supra struktur ketatanegaraan memiliki visi dan misinya maupun tujuan.
“Tetapi hakekat semua itu mengarah pada tujuan negara yang tercantum dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada aline keempat. Inilah sistem ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD 1945,” ujar Daniel.
Selanjutnya Daniel menjelaskan sejarah judicial review melalui Kasus Marbury vs Madison (1803) di Amerika Serikat. Saat Mahkamah Agung Amerika Serikat membatalkan ketentuan yang berkaitan dengan pengangkatan hakim yang menjadi dasar kewenangan judicial review Supreme Court Amerika Serikat. Sekalipun Amerika Serikat tidak memiliki Mahkamah Konstitusi, tapi fungsi Mahkamah Konstitusi ada pada Mahkamah Agung.
Mengenai gagasan perlu dibentuknya Mahkamah Konstitusi disampaikan oleh pakar hukum dari Austria, Hans Kelsen. Tahun 1920 dibentuklah Mahkamah Konstitusi Austria sebagai Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Sementara di Indonesia, gagasan untuk membanding undang-undang atau menguji undang-undang sudah dicetuskan sejak masa kemerdekaan oleh Mohammad Yamin. Namun ide ini ditolak oleh Soepomo. Karena kala itu belum banyak sarjana hukum di Indonesia yang paham mengenai membanding undang-undang. Selain itu, Indonesia tidak menganut sistem Trias Politica dalam kekuasaan negara.
Bertahun-tahun kemudian ada usulan dari Ikatan Sarjana Hukum agar Mahkamah Agung diberi kewenangan menguji undang-undang. Karena UU No. 14/1970 memberikan kewenangan judicial review secara terbatas terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Selanjutnya pada waktu pembahasan panitia ad-hoc dalam proses perubahan UUD 1945 pada 1999-2002, muncul gagasan agar dibentuk Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Alhasil barulah pada 13 Agustus 2003 dibentuklah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) sebagai MK ke-78 di dunia. Keberadaan MK disebutkan dalam Pasal 24C UUD 1945.
Berikutnya, Daniel menguraikan kewenangan MK menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol, memutus sengketa pemilu dan wajib memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melanggar hukum atau melakukan perbuatan tercela.
“Selain itu ada tambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi yaitu menguji perpu, memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah sebelum adanya badan peradilan khusus,” kata Daniel yang juga menyebutkan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai Penjaga Konstitusi, Penjaga Demokrasi, Pelindung Hak Asasi Warga Negara, Pelindung Hak Asasi Manusia, Penafsir Akhir Konstitusi, Penjaga Ideologi.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
https://youtu.be/CP7rv-VIimE