JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), tidak dapat diterima. Permohonan diajukan oleh Yok Sagita seorang pegawai swasta.
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan Nomor 89/PUU-XVIII/2020, Kamis (17/12/2020).
Pemohon menguji kata “khusus” dalam Pasal 55 UU PPHI yang mengakibatkan Pemohon terhalang untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK), karena sifat “khusus” dari Pengadilan Hubungan Industrial tersebut yang meniadakan upaya hukum PK. Pasal 55 UU PPHI yang secara lengkap berbunyi “Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum.”
Setelah mencermati lebih lanjut dalil permohonan Pemohon, terutama pada bagian posita dan petitum, Mahkamah menemukan permasalahan bahwa pasal yang dimohonkan pengujian sesungguhnya hanya merupakan ketentuan mengenai klasifikasi atau pembagian dari lembaga peradilan sebagaimana ketentuan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) yang menyatakan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
“Selanjutnya Pasal 27 ayat (1) UU 48/2009 menyatakan pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25. Kemudian Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU No. 48/2009 tersebut menyatakan, yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara,” urai Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang membacakan pendapat Mahkamah.
Selain kekhususan itu, penyelesaian perkaranya pun menggunakan hukum acara yang bersifat khusus, karena menganut prinsip penyelesaian perkara secara cepat (speedy trial). Sejalan dengan hal tersebut, Pasal 55 UU PPHI telah jelas pula menyatakan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. Dengan demikian jelaslah Pasal 55 UU PPHI hanya merupakan pasal yang menjelaskan mengenai kedudukan Pengadilan Hubungan Industrial yang tidak perlu dimaknai lain selain yang telah ditentukan dalam norma a quo (expressis verbis).
Dengan demikian, menurut Mahkamah, adalah tidak tepat apabila norma yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah Pasal 55 UU PPHI. Adapun kerugian konstitusional yang telah Pemohon alami yang menurut Pemohon dikarenakan oleh berlakunya Pasal 55 UU PPHI, menurut Mahkamah, sesungguhnya persoalan tersebut berkaitan erat dengan Pasal 56 dan Pasal 57 UU PPHI, dan Mahkamah telah pula menimbang berkenaan dengan pengujian kedua pasal a quo, yaitu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XVII/2019 bertanggal 23 September 2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XVII/2019 bertanggal 23 Oktober 2019.
Selanjutnya Mahkamah menanggapi ketentuan dalam Pasal 34 UU MA yang memungkinkan dilakukannya Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, namun tidak boleh diartikan bahwa setiap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan PK. Pengaturan dalam Pasal 34 UU MA tersebut adalah pengaturan yang bersifat umum (lex generalis) yang harus dimaknai bahwa PK hanya dapat dilakukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sepanjang ketentuan umum tersebut tidak dikecualikan oleh ketentuan undang-undang yang bersifat khusus (lex specialis), baik karena sifat perkaranya maupun karena syarat-syarat yang ditentukan untuk dapat diajukannya PK.
Dalam konteks demikian, Pasal 56 UU PPHI merupakan bentuk norma hukum spesialis dari Pasal 34 UU MA. Kekhususan demikian diberikan dengan pertimbangan agar penyelesaian perkara hubungan industrial ditujukan untuk menjamin terlaksananya asas cepat, tepat, adil, dan murah. Sehingga dengan meniadakan tahapan Peninjauan Kembali maka diharapkan tidak terganggunya proses produksi pada suatu perusahaan yang mempekerjakan karyawan.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, telah ternyata bahwa sesungguhnya yang meniadakan upaya hukum PK bukanlah semua melainkan sifat perkara maupun syarat-syarat untuk dapat diajukannya PK yang diatur dalam undang-undang yang bersifat khusus. Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 56 huruf c UU PPHI adalah tidak beralasan menurut hukum.
Setelah mencermati petitum Pemohon, menurut Mahkamah, rumusan petitum yang memohon dua tafsir berbeda terhadap satu kata yang sama yaitu “khusus”. Sedangkan Majelis Hakim Panel telah pula menanyakan kepada Pemohon berkenaan dengan petitum a quo pada sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan, dan menurut Pemohon kedua petitum tersebut adalah petitum yang berbeda. Namun oleh karena tidak terdapat kata “atau” di antara kedua petitum (petitum alternatif) hal tersebut justru memunculkan pertentangan di antara keduanya sehingga menimbulkan ketidakjelasan perihal apa yang sesungguhnya dimohonkan oleh Pemohon. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, ketidaktepatan pasal yang dimohonkan pengujian dan ketidakjelasan petitum yang demikian mengarahkan Mahkamah untuk menyatakan permohonan Pemohon adalah kabur.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Annisa Lestari.
https://youtu.be/edGYyTY3El4