JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia). Sidang pengucapan Putusan Nomor 99/PUU-XVIII/2020 ini dibacakan pada Kamis (17/12/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Hakim Konstitusi Suhartoyo yang membacakan pertimbangan hukum bahwa Mahkamah mendapatkan adanya perbedaan antara objek pengujian yang terdapat dalam permohonan dengan objek pengujian yang tercantum di dalam surat kuasa. Pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasannya. Akan tetapi, dalam Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Oktober 2020, prinsipal memberikan kuasa kepada penerima kuasa untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Cipta Kerja.
Lebih jelas Suhartoyo menguraikan bahwa Mahkamah pada persidangan pendahuluan telah meminta klarifikasi kepada kuasa hukum. Para kuasa hukum pun secara tegas membenarkan hal tersebut. Atas hal ini, Mahkamah mempertimbangkan esensi dari surat kuasa secara universal adalah pelimpahan wewenang dari seseorang atau pejabat tertentu kepada seseorang atau pejabat lain untuk mewakili pihak yang memberi wewenang dalam urusan tertentu. Akibat adanya perbedaan objek pengujian dalam permohonan dengan surat kuasa pada perkara ini.
“Mahkamah berpendapat para kuasa hukum tidak mempunyai wewenang untuk menyampaikan permohonan yang akan disampaikannya di depan persidangan. Sebab, tidak ada hubungan hukum antara prinsipal dengan permohonan yang diajukan oleh para kuasa hukum yang mendalilkan menerima kuasa untuk mewakili kepentingan prinsipal dalam mengajukan permohonan. Oleh karenanya Mahkamah pada persidangan pendahuluan tidak memberi kesempatan kepada kuasa hukum untuk menyampaikan pokok-pokok permohonan,” ucap Suhartoyo.
Baca juga: Meski Surat Kuasa Salah, Pemohon Tetap Minta Uji UU Jaminan Fidusia Dilanjutkan
Di samping itu, Mahkamah menilai surat kuasa merupakan dasar bagi kuasa hukum untuk mengajukan permohonan yang mewakili kepentingan prinsipal, maka terhadap Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Oktober 2020 tersebut pun harus dinyatakan tidak memenuhi persyaratan untuk dijadikan dasar bagi kuasa hukum untuk mewakili kepentingan pemberi kuasa dalam permohonan a quo. Selain itu, sambungnya, Mahkamah juga berpendapat karena antara permohonan dan surat kuasa adalah satu kesatuan yang utuh di dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi, maka dengan adanya inkonsistensi mengenai objek pengujian antara yang ada di dalam permohonan dengan surat kuasa tersebut dan dengan pertimbangan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, permohonan a quo tidak relevan lagi untuk dilakukan persidangan lebih lanjut.
“Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan a quo adalah tidak jelas (kabur),” kata Suhartoyo terhadap permohonan yang diajukan oleh Joshua Michael Djami.
Sebagaimana diketahui, Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang merupakan karyawan di sebuah perusahaan finance dengan jabatan selaku kolektor Internal dan telah bersertifikasi profesi di bidang penagihan. Pemohon merupakan kolektor yang berprestasi. Akan tetapi, Pemohon mendalilkan mengalami berbagai kesulitan sejak ditafsirkannya undang-undang dalam perkara a quo. Permasalahan-permasalahan tersebut di antaranya adalah berkurangnya pendapatan hingga sulitnya melakukan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia dikarenakan pemberi hak fidusia (Debitur) yang kerap kali mengelak. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari
Humas : Annisa Lestari
https://youtu.be/edGYyTY3El4