JAKARTA, HUMAS MKRI – Kewenangan Pemerintah dalam memutus akses terhadap informasi elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (2b) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (UU ITE) memiliki batas.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) Oce Madril selaku Ahli yang dihadirkan oleh Pemohon pada sidang keempat uji materiil UU ITE yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (15/11/2020) siang. Pemimpin Redaksi Media Suara Papua dan Perkumpulan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tercatat sebagai Pemohon perkara yang teregistrasi dengan Nomor 81/PUU-XVIII/2020 tersebut.
Selanjutnya, Oce mengatakan kewenangan pemerintah berdasarkan Pasal 40 ayat (2b) UU ITE, Pemerintah memiliki wewenang untuk melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik yang memiliki muatan dilarang. Selain itu, lanjutnya, Pemerintah juga berwenang untuk melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan penyelenggara elektronik untuk memutus akses terhadap informasi atau dokumen yang memiliki muatan yang melanggar hukum. Namun kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah tersebut bersifat terbatas.
“Kewenangan memutus akses yang dimiliki secara terbatas itu hanya terhadap informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum. Jadi tidak bisa kemudian secara keseluruhan, jadi ada batasannya. Walaupun kemudian undang-undang ini tidak menjelaskan secara lebih spesifik bagaimana muatan yang melanggar hukum itu dan seterusnya, dan juga prosesnya,” ujar Oce di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Baca juga: Sempat Alami Pemblokiran, Redaksi Suara Papua dan AJI Gugat UU ITE
Lebih lanjut Oce menguraikan, Pasal 40 ayat (2b) UU ITE memuat wewenang dalam jenis perbuatan hukum. Perbuatan hukum tersebut berkaitan dengan memutus akses, dokumen, atau informasi elektronik yang bermuatan melanggar hukum dan akan menimbulkan akibat hukum bagi pihak-pihak tertentu yang aksesnya dibatasi atau diputus oleh Pemerintah. Menurutnya, kewenangan tersebut adalah perbuatan hukum melalui penerbitan sebuah keputusan tertulis atau beschikking. “Maka karena jenis kewenangan ini adalah rechtshandelingen, maka mestinya penggunakan kewenangan itu dilakukan dengan cara penerbitan sebuah keputusan atau beschikking,” urainya.
Mekanisme UU Administrasi Pemerintahan
Oce melanjutkan pelaksanaan wewenang tersebut atau implementasinya dapat menimbulkan hak dan kewajiban, serta memiliki konsekuensi hukum tertentu atau dampak hukum tertentu bagi pihak-pihak individu atau badan hukum. Melalui kewenangan tersebut, maka akan ada dampak hukum yang akan terjadi.
“Sehingga kewenangan itu tidak dapat hanya digunakan melalui tindakan pemerintahan atau tidak dapat hanya dilakukan melalui tindakan nyata dalam pengertian feitelijke handelingen sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan bahwa tindakan pemerintahan itu dimaksudkan hanya untuk perbuatan konkret atau tindakan nyata,” paparnya.
Selain itu, Oce menyebut prosedur-prosedur sebagaimana tercantum dalam UU Administrasi Pemerintahan menunjukan adanya jaminan terhadap sebuah tata kelola pemerintahan yang baik. “Kemudian pengaturan itu bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan juga pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan wewenangnya,” terangnya.
Baca juga: Redaksi Suara Papua dan AJI Perbaiki Permohonan Uji UU ITE
Berpotensi Disalahgunakan
Sementara itu Pakar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga Herlambang Perdana Wiratman yang hadir sebagai Ahli Pemohon mengatakan Pasal 40 ayat (2B) Undang-Undang ITE memiliki rumusan pembatasan yang tidak jelas. Hal ini dinilainya dapat menimbulkan praktik penyalahgunaan.
“Rumusan dalam Pasal 40 ayat (2b) yang demikian, sesungguhnya merupakan rumusan pasal yang tidak jelas, terutama terkait dengan yang pertama, standar acuan pembatasannya. Kedua, wewenang yang melekat di penyelenggaraan penyelenggara pemerintahan. Dan yang ketiga, bagaimana upaya menyelesaikan masalah hukum bila terjadi penyimpangan, atau penyalahgunaan wewenang, atau atas pemblokiran konten internetnya? Terlebih lagi, tiadanya rumusan mekanisme dalam realisasi kewajban prescribed by the law, elemen yang pertama tadi, yang mencerminkan tanpa ada batasan dan prinsip-prinsip prediktabilitas dan transparansi dalam suatu keputusan adminitratif, maka berpotensi dalam praktiknya terjadi penyalahgunaan wewenang dan ini mencederai prinsip negara hukum,” paparnya.
Herlambang menyebut pembatasan atas hak internet tersebut harus dilakukan secara jelas standar hukumnya atau due process of law sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum dan hak asasi manusia.
Baca juga: Pemerintah: Warga Negara Dapat Ajukan Upaya Administratif Atas Tindakan Pemblokiran
Sebelumnya, Para Pemohon merasa dirugikan akibat kewenangan yang dimiliki Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE. Menurut Pemohon, Pasal 40 ayat (2b) memberikan kewenangan yang luas kepada Pemerintah untuk mengambil kewenangan Pengadilan dalam menegakan hukum dan keadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus atas tafsir dari informasi dan/atau dokumen elektronik yang melanggar hukum.
Pemohon menilai seharusnya kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus sebuah perkara adalah milik hakim sebagaimana telah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 25 UU 48/2009. Selain itu, kewenangan Pemerintah untuk melakukan pemutusan akses adalah bentuk dari pembatasan kebebasan berekspresi dan kebebasan informasi. Kewenangan ini pula, menurut Pemohon, butuh diawasi secara ketat oleh pengadilan. Hal tersebut sebagai bentuk membatasi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pihak Pemerintah. Ia menegaskan, bahwa kewenangan Pemerintah melakukan tafsir secara sepihak atas sebuah informasi dan/atau dokumen elektronik bermuatan konten yang melanggar hukum, bertentangan dengan ketentuan due process of law. Selain itu, Pemohon menganggap jika pasal yang diuji dibiarkan sumir dan tidak jelasnya ukuran informasi dan/atau dokumen elektronik yang dianggap melanggar hukum tersebut, maka hal ini berdampak pada pemberian kewenangan yang absolut kepada Pemerintah untuk mengontrol dan memonopoli akses informasi. Hal demikian membuat sulit publik untuk menerima dan menyampaikan informasi dalam rangka partisipasi melakukan pengawasan kepada Pemerintah melalui lembaga Peradilan. Berdasarkan alasan-alasan tersebut Para Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Andhini SF.
https://youtu.be/t82nf7sH2Hg