JAKARTA, HUMAS MKRI – Kasus pelaporan Bintang Emon ke Kemenkominfo oleh Charlie Wijaya berbuntut panjang. Charlie Wijaya kini menempuh jalan uji materiil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) karena merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh pemberitaan media terhadap dirinya.
Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan Nomor 104/PUU-XVIII/2020 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (15/12). Charlie Wijaya selaku Pemohon menguji Pasal 18 ayat (1) UU Pers. Pasal 18 ayat (1) UU Pers menyatakan, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).” Kemudian Pasal 18 ayat (2), “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).” Juga Pasal 18 ayat (3), “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
Pemohon mengajukan judicial review karena merasa hak konstitusionalnya dirampas dengan berlakunya ketentuan tersebut. Sebelumnya, Pemohon menjadi korban pemberitaan media dengan judul “Minta maaf usai menuduh seorang komika bernama Bintang Emon menggunakan narkoba.”
“Akibat pemberitaan tersebut, saya anggap telah mencemarkan nama baik saya, dan menghancurkan reputasi saya, dan berita itu tidak benar. Saya mencoba melaporkan kepada kepolisian, namun polisi menolak dengan alasan hal itu adalah produk media. Sehingga saya diarahkan ke Dewan Pers. Setelah di Dewan Pers, saya melakukan pengaduan dan pada 2 September 2020 saya dipertemukan dengan pihak media dan hasilnya mereka bersalah melanggar Pasal 1 dan 3 Kode Etik Jurnalistik karena menyajikan berita tidak akurat, tidak uji informasi, tidak berimbang, dan memuat opini yang menghakimi. Akibat pemberitaan tersebut saya telah rugi secara immaterial. Setelah itu, media mengakui kesalahan dan meminta maaf saja, serta melayangkan hak jawab,” kata Pemohon kepada Panel Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Setelah media meminta maaf, Pemohon meminta ganti rugi akibat kesalahan pemberitaan tersebut. Namun, media mengatakan tidak ada ganti rugi berdasarkan UU Pers. Menurut Pemohon, efek dari pemberitaan tersebut membuat nama baiknya tercemar, mendapat cacian, makian, hinaan, dan ancaman dari pihak-pihak tertentu. “Jika media melakukan kesalahan, hanya meminta maaf, tidak ada sanksi yang berat dan tegas, maka pasti akan mengulangi lagi yang sama. Saya dan teman-teman yang pernah menjadi korban pemberitaan menginginkan adanya persamaan di atas hukum dan berkeadilan karena kami mau diperlakukan sama di hadapan hukum. Jika undang-undang ini tetap berjalan akan menggugurkan hak konstitusional saya untuk mendapatkan ganti rugi. Karena nama baik seseorang itu tidak boleh dipermainkan secara sembarangan,” tegas Pemohon.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Panel Hakim memberikan saran perbaikan. Anwar Usman menyampaikan agar format permohonan disesuaikan dengan permohonan MK. “Kalau Saudara masih mau meneruskan permohonan ini, minimal diberi kesempatan untuk memperbaiki selama 14 hari dengan melihat contoh di website MK bagaimana bentuk format permohonan itu yang seharusnya. Misalnya mengenai Kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum sehingga Saudara punya legal standing atau boleh bisa dikatakan punya alasan hukum untuk mengajukan permohonan terkait dengan Undang-Undang Pers,” ujar Anwar memberi nasihat.
Anwar juga menanggapi petitum Pemohon. “Begitu juga terkait dengan petitum ini, Saudara menyebutkan juga proses pembentukan undang-undang ini. Menurut Saudara ini kan ada dugaan dikesampingkan itu mengenai prosedur pembuatannya ini, walaupun undang-undang sudah lama ini, tapi Saudara masih mau mengajukan uji formil. Uji formil itu hanya 45 hari,” jelas Anwar.
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta agar Pemohon menguraikan kedudukan hukum. “Mengenai kedudukan hukum Saudara, apakah perorangan atau badan hukum? Nah, itu nanti Saudara sebutkan di permohonan ya. Terlebih lagi, Saudara mengatakan tidak berkonsultasi atau ditemani dari orang yang mengetahui atau sudah biasa beracara di MK. Itu bisa advokat, pengacara, kuasa hukum,” ucap Wahiduddin yang juga menasehati Pemohon agar lebih menguraikan kerugian konstitusional yang dialami.
Sedangkan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh meminta Pemohon agar lebih menguraikan Kewenangan Mahkamah Konstitusi. “Kewenangan Mahkamah Konstitusi itu nanti diuraikan. Pertama, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Ketiga, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Nah, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ini sudah mengalami perubahan ketiga, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020. Kemudian, kalau pengujian formil, biasanya terkait dengan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, itu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019,” ujar Daniel. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Annisa Lestari
https://youtu.be/YGtg1RH79tg