JAKARTA, HUMAS MKRI, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), Selasa (15/12/2020) secara virtual. Permohonan yang teregistrasi Nomor 100/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh R. Violla Reinida Hafidz (Pemohon I), M. Ihsan Mualana (Pemohon II), Rahmah Mutiara (Pemohon III), Korneles Materay (Pemohon IV), Beni Kurnia Ilahi (Pemohon V), Giri Ahmad Taufik (Pemohon VI), dan Putra Perdana Ahmad Saifulloh (Pemohon VII).
Dalam permohonan ini, para Pemohon mendalilkan Pasal 15 ayat (2) huruf d dan huruf h, Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 23 ayat (1). Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87 UU MK bertentangan dengan UUD 1945. Mulki Shader selaku salah satu kuasa para Pemohon menyebutkan beberapa perbaikan permohonan yang telah dituangkan guna menyempurnakan permohonan. Di antaranya penambahan tiga orang kuasa hukum para Pemohon, perbaikan struktur permohonan, dan uraian alasan permohonan terutama terkait dengan kedudukan hukum para Pemohon.
Lebih lanjut Mulki menguraikan para Pemohon yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi merupakan wadah perkumpulan bagi masyarakat sipil dalam memantau kewenangan MK. Koalisi ini terbentuk pada 2015 yang di antaranya terdiri dari Kode Inisiatif, Lembaga Badan Hukum Jakarta, dan lembaga individu lainnya yang aktivitasnya berhubungan dengan aktivitas MK.
Berikutnya, Mulki juga menyampaikan terkait legal standing para Pemohon yang dibuat terpisah secara tegas bahwa dalam meenguraikan uji formil, tindakan revisi UU MK diselesaikan dalam waktu 7 hari dan dibahas dalam kondisi bencana non-alam telah secara aktual melanggar hak konstitusional para Pemohon. Sementata itu, secara aktual para Pemohon merasa terlanggar hak konstitusional mereka karena sebagai rakyat memiliki kedaulatan dan memiliki hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
“Dalam konteks materill, keberlakukan masa jabatan ketua, wakil dan hakim MK dalam ketentuan ini berupaya menarik hakim yang menjabat pada pusaran kepentingan politik pada masa ini,” kata Mulki di hadapan sidang Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahidduddin Adams dan Hakim Konstitusi Manahan M. P. Sitompul.
Baca Juga:
Sejumlah Peneliti dan Dosen Uji Formil Pembentukan UU MK
Untuk diketahui, pada persidangan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, Kamis (19/11/2020) lalu, para Pemohon dalam permohonannya mengungkapkan pembentuk undang-undang melakukan penyelundupan hukum dengan dalih menindaklanjuti putusan MK. Menurut para Pemohon, revisi UU MK tidak memenuhi syarat carry over, pembentuk undang-undang melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Revisi UU MK juga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan hanya merupakan formalitas belaka. Proses pembahasannya dilakukan secara tertutup dengan tidak melibatkan publik. Selain itu, Revisi UU MK berdasar hukum undang-undang yang invalid.
Sedangkan untuk pengujian materil, para Pemohon mempersoalkan limitasi latar belakang calon hakim usulan Mahkamah Agung dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h UU MK dan kedudukan calon hakim konstitusi sebagai representasi internal lembaga pengusul. Para Pemohon juga mendalilkan penafsiran konstitusional terhadap sistem rekrutmen hakim konstitusi dalam Pasal 19 UU MK beserta Penjelasannya dan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU MK. Ditambah pula para Pemohon juga mempersoalkan penafsiran konstitusional usia minimal menjadi hakim konstitusi dan masa bakti hakim konstitusi.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Lambang TS.
https://youtu.be/qvAJ03sbifc