Tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) penting untuk peserta Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa mengetahui karena meskipun dalam keseharian tidak selalu berurusan dengan MK, dengan memahami kewenangan secara kelembagaan setelah dilantik menjadi jaksa, baik secara jabatan maupun secara warga negara tidak terlepas dari adanya hak-hak konstitusional yang melekat pada diri peserta. Demikian kalimat pembukaan yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam kegiatan web seminar pada Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) Angkatan ke-77 yang diselenggarakan Badan Diklat Kejaksaan Republik Indonesia pada Selasa (15/12/2020) pagi.
“Peserta PPPJ penting mengetahui ini karena menyangkut hak konstitusional selaku perseorangan warga negara dan juga sebagai pejabat jaksa yang akan menjalankan fungsi jika harus berhadapan dengan MK. Jadi sangat dimungkinkan bersentuhan dengan hak konstitusional yang dijamin konstitusi dilanggar oleh suatu undang-undang. Ada kalanya menjadi jaksa yang berhadapan dengan MK terhadap perkara-perkara pengujian yang berkaitan dengan kejaksaan atau hal-hal yang berkitan dengan penegakan hukum tidak tertutup kemungkinan akan dilibatkan tim dengan Kementerian Hukum dan HAM serta Presiden diminta untuk mendampingi presiden dalam kepentingan eksekutif sebagai pengacara negara. Jadi, sebagai calon jaksa memeng urgensinya sangat besar untuk memahami hukum acara dan tupoksi dari MK,” ujar Suhartoyo dalam kegiatan yang diikuti sebanyak 400 peserta calon jaksa seluruh Indonesia.
Berikutnya Suhartoyo mengajak para peserta untuk mengenal lebih baik dengan tugas utama dari MK, yakni melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945; menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara, seperti kejaksaan dengan kepolisian, kejaksaan dengan KPK dan atas ini MK berwenang menyelesaikan permasalahan ini; mengadili pembubaran partai politik; mengadili hasil pemilihan umum baik bagi hasil legislatif dan preisiden/wakil presiden; dan menyelesaikan dan memberikan pendapat seandainya DPR menganggap presiden/wakil diduga melakukan pelanggaran atau pemakzulan presiden dan dalam hal ini MK berhak melakukan penilaiannya. Kemudian, lanjut Suhartoyo, ada satu kewenangan tambahan MK yang diturunkan undang-undang adalah mengadili perkara sengketa pilkada selama hasilnya ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sejatinya, menurut Suhartoyo kewenangan MK dalam hal ini sangat limitatif karena hanya mengadili sengketa hasil pemilihan dan bukan berkaitan dnegan berita acara pemilihannya.
Inti Bisnis
Kemudian Suhartoyo menjelaskan lebih rinci mengenai inti bisnis MK berupa pengujian undang-undang (PUU) karena secara historikal diakuinya bahwa MK dibentuk saat reformasi karena keinginan negara akan adnaya lembaga yang mengontrol produk yang dibuat DPR dan Presiden yang sangat multidimensi. Sehingga tidak tertutup kemungkinan, produk yang dihasilkan sarat dengan kepentingan yang dapat menumpang pada undang-undang yang dihasilkan tersebut.
“Dalam perspetif itulah MK diharapkan menjadi media dan instrumen untuk mengontrol kepentingan yang ada, sehingga nantinya bisa dilakukan pengujian di MK. Benar atau tidaknya kepentingan itu ada pada undang-undang atau murni sesuai dengan aspirasi yang ada di masyarakat. Setidaknya, dengan adanya MK sudah ada instrumen yang melakukan filter terhadap produk undang-undang yang memuat aspirasi masyarakat,” jelas Suhartoyo dari ruang kerja di Gedung MK.
Dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, lanjut Suhartoyo, hukum acaranya berbeda ketika MK mengadili perkara dalam kewenngan lainnya. Perkaranya berupa permohonan yang tidak ada lawannya karena hanya ada Pemohon dan tidak ada Termohon. Artinya, MK hanya akan meminta penjelasan dengan memanggil Presiden dan DPR untuk memberikan penjelasan sehubungan dengan proses pembentukan undang-undang atau bagian dari undang-undang seperti pasal, ayat atau bergantung substansi yang dilakukan pengujiannya oleh Pemohon.
Kemudian Suhartoyo beranjak pada bahasan mengenai proses PUU yang dapat dilakukan oleh Pemohon, baik secara formil maupun materiil. Apabila PUU yang dilakukan adalah terkait pengujian formil, maka hasil yang diharapkan adalah agar satu kesatuan norma dibatalkan cacat formal. Jika pengujian dilakukan secara materil berarti tidak terkait dengan proses tetapi tentang substansi dari undang-undang dapat berupa pasal, ayat, atau bagian dari keduanya.
“Akibat hukumnya, jika formal dikabulkan maka satu undang-undang dinyatakan tidak mempunyai hukum mengikat, sedangkan jika materill hanya pada pada pasal atau ayat yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” terang Suhartoyo.
Berikutnya Suhartoyo juga mengkaji mengenai ketentuan hukum acara di MK mulai dari batas waktu pengujian formil dan materil dari suatu undang-undang hingga pada sifat dari putusan-putusan MK yang dihasilkan dalam sebuah perkara pengujian undang-undang. Usai memberikan materi, Suhartoyo membuka kesempatan bagi para calon jaksa yang menjadi peserta kegiatan ini untuk mengajukan pertanyaan. Sehingga dalam diskusi terbuka ini diharapkan para peserta semakin memahami kewenangan MK dan hak konstitusional yang melekat pada diri peserta sebagai calon jaksa dan perseorangan warga negara yang dijamin oleh UUD 1945. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
https://youtu.be/IiIzPvnICJM