JAKARTA, HUMAS MKRI - Acuan pengelolaan minyak dan gas (migas) di Indonesia adalah Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Artinya, cadangan migas harus dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat, termasuk sektor migas dari hulu sampai hilir. Apabila pengelolaan migas terintegrasi secara vertikal, baik berstatus holding dan subholding selama pengelolaannya untuk memberikan kemakmuran yang maksimal bagi negara, hal tersebut tidak menjadi masalah.
Hal tersebut diungkapkan oleh pengamat energi Kurtubi yang dihadirkan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) selaku Pemohon dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). Sidang ketujuh dari perkara yang teregistrasi Nomor 61/PUU-XVIII/2020 ini digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (14/12/2020) dengan agenda mendengar keterangan DPR dan Ahli Pemohon, namun DPR berhalangan hadir. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan aturan mengenai privatisasi BUMN sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945.
Lebih jauh, Kurtubi mengatakan bahan bakar minyak (BBM) adalah hilir dari migas yang merupakan cabang produksi penting yang ditur negara agar dapat tercapai amanat konstitusi untuk kemakmuran rakyat terhadap SDA yang dapat diperbarui dan tidak dapat diperbarui. Jadi, sambung Kurtubi, ini bentuk monopoli alamiah yang dibuat efisien karena kebutuhan yang dipenuhi adalah seluruh rakyat Indonesia, jumlah atau volumenya besar, skalanya nasional dari hulu ke hilir sehingga berbeda dengan produk bumi lainnya seperti air.
“Harus ada pengaturan tentang cadangan migas ini sebagai milik negara. Hulu menghasilkan minyak mentah, yang kemudian dialirkan pada pengilangan dan menjadi BBM untuk selanjutnya dialirkan ke seluruh Indonesia untuk dinikmati rakyat,” terang Kurtubi dalam sidang yang berlangsung virtual dengan dipimpin Ketua MK Anwar Usman yang didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Biaya Besar
Kurtubi berpandangan bahwa Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 dapat bermakna pengelolaan migas harus terintegrasi di bawah satu perusahaan nasional untuk memperkecil biaya produksi dari hulu ke hilir. Apabila ada satu pengelola dari berbagai wilayah sumber migas, namun pengelolaannya dilakukan oleh perusahaan hulu dan hilir yang berbeda-beda, maka harus ada transaksi untuk melakukan pengelolaan antarsegmen dalam perjalanan pengelolaan tersebut hingga sampai pada masyarakat.
Kurtubi pun menyebutkan, biaya untuk pengelolaan sumber daya migas sangat besar sehingga pengelolaan yang dipusatkan pada perusahaan negara tidak lain untuk menciptakan efisiensi biaya produksinya. Hanya negara yang dibenarkan untuk melakukan pengelolaan migas untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan membentuk perusahaan negara. Di samping itu, penguasaan migas haruslah di tangan pemerintah, sedangkan pengusahaannya dilakukan oleh perusahaan negara.
“Pertamina yang terintegrasi secara vertikal, apapun status pengelolaannya, baik holding atau subholding tentu akan mengelola migas dari hulu ke hilir sesuai dengan konstitusi. Sehingga dapat melakukan monopoli alamiah yang tidak dapat dikalahkan oleh pasar persaingan. Pihak asing boleh berinvestasi ke perusahaan negara, tetapi wewenang penambangannya tetap diberikan hanya oleh perusahaan negara,” ujar Kurtubi.
Sebelumnya, Pemohon beranggapan PT Pertamina (Persero) merupakan perusahaan persero yang berdasarkan Akta Perubahan Anggaran Dasar Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina Nomor 27 tanggal 19 Desember 2016 memiliki kegiatan usaha di bidang penyelenggara usaha energi sehingga termasuk perusahaan persero yang dilarang untuk diprivatisasi berdasarkan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN. Bisnis PT Pertamina (Persero) terintegrasi dari hulu ke hilir yaitu mulai proses hulu, pengolahan/kilang/refinery, pemasaran/trading, dan distribusi/transportasi/perkapalan.
Pemohon menilai Pemerintah dalam rangka strategi menguatkan daya saing, peningkatan nilai, perluasan jaringan usaha dan kemandirian pengelolaan BUMN seharusnya dapat membentuk perusahaan induk BUMN/Perusahaan Grup/Holding Company. Salah satu tindakan nyatanya adalah membentuk dan menetapkan Subholding dan Anak Perusahaan PT Pertamina (Persero) sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Direksi Pertamina (Persero) Nomor Kpts-18/C00000.2020-SO tentang Struktur Organisasi Dasar PT. Pertamina (Persero), yaitu Subholding Upstream, Refining, Petrochemical, Comercial, Trading, Gas, Power NRE, dan Shipping Co. Privatisasi telah direncanakan oleh pemerintah yang akan melakukan Initial Public Offering (IPO) kepada anak dan cucu usaha PT. Pertamina Persero di level subholding. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
Humas: Lambang S
https://youtu.be/zeeffBqTY20