JAKARTA, HUMAS MKRI - Bergulirnya reformasi menjadi harapan baru bagi hadirnya kekuasaan kehakiman yang lepas dari intervensi pemerintah. Hingga akhirnya tertuang dalam sebuah konsideran yang mempertegas kekuasaan kehakiman yang mandiri serta memisahkan antara fungsi yudikatif dan legislatif. Selanjutnya, kekuasaan kehakiman kemudian dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Demikian diungkapkan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam kegiatan Kajian Buku Karya Mahkamah Konstitusi yang digelar Universitas Widyagama Malang bekerjasama dengan Raja Grafindo Persada pada Jumat (11/12/2020).
Dalam presentasi berjudul “Independensi Lembaga Kekuasan Kehakiman Indonesia” ini, Anwar mengajak para peserta diskusi untuk menelusuri upaya yang dilakukan untuk menciptakan dan memperkuat kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari intervensi. Ia menyebut lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 berakibat pada hilangnya peran eksplisit Presiden untuk melakukan intervensi terhadap kewenangan yustisial lembaga peradilan. Selanjutnya, dilakukan perubahan terhadap undang-undang ini pada 1999 yang tertuang dalam UU Nomor 35 Tahun 1999, kemudian kembali berganti menjadi UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sejalan dengan perubahan tersebut pada masa reformasi, maka berpedoman pada Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 ditegaskan MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Hal ini, sambungnya, memberikan harapan baru bagi masyarakat dalam menjadikan hukum sebagai panglima. Diakuinya bahwa pada masa awal berdirinya MK, masyarakat menaruh harapan baru guna mengikis cideranya rasa keadilan.
“Bahwa independensi kekuasaan kehakiman adalah jaminan mutlak guna terciptanya demokrasi dan negara yang berlandaskan hukum,” sampai Anwar yang hadir dalam kegiatan ini didampingi oleh Peneliti MK Nallom Kurniawan yang juga hadir sebagai Pembicara 2 serta turut diikuti pula oleh para penanggap, di antaranya Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang Lukman Hakim dan Dosen Pascasarjana Fakultas HUkum Universitas Pancasila Jakarta.
Berikutnya, Anwar dalam kegiatan yang dimoderatori oleh Ketua Program Stusi Ilmu Hukum Universitas Widyagama Malang Zulkarnain ini, menjelaskan pentingnya independensi pada kekuasan kehakiman dibahas oleh banyak negara dengan berbagai deklarasi termasuk pada tingkat PBB. Dalam Deklarasi PBB, pada Pasal 10-nya menyatakan “siapapun berhak atas suatu peradilan yang fair, terbuka, kompeten, independen, dan tidak memihak.” Apabila filosofi dari hal ini ditarik ke Indonesia, maka dapat dimaknai bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah kekuasaan negara yang bebas dari segala bentuk intervensi, baik dari dalam maupun dari luar kekuasaan kehakiman, kecuali atas dasar kekuaatan falsafah Pancasila dan UUD 1945.
Dalam kajian buku berjudul “Kekuasaan Kehakiman Pasca-amendemen UUD NRII 1945” ini Anwar menegaskan pada tulisan karyanya ini menuangkan sebuah upaya guna menjaga independensi dan imparsialitas kekuasaan kehakiman sesuai dengan konstitusi. Sebab cita negara hukum, dapat diwijudkan salah satunya melalui perwujudan lembaga kekuasaan kehakiman yang sesuai dnegan nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi.
Evaluasi KUHAP
Sementara itu, Peneliti MK Nallom Kurniawan selaku pembicara ke-2 memaparkan pembahasan berjudul “Penetapan Tersangka dan Praperadilan serrat Perbandingannya di Sembilan Negara.” Pada kesempatan ini, Nallom mengutarakan pada peserta latar belakang dari buku karyanya yang tidak terlepas dari prinsip humanity atau kemanusiaan, yang telah menjadi landasan filosofis bagi bangsa Indonesia sejak masa kemerdekaan, yakn sebagaimana termaktub dalam Pancasila Sila ke-2.
Dalam pandangan Nallom, terjadinya pembangunan dan perkembangan di berbagai bidang termasuk hukm tidak terlepas dari nilai-nilai dari sila ini. Karena, sambung Nallom, didalamnya memuat makna adanya perlindungan terhadap harkat, derajat, dan martabat manusia sebagaimana mestinya. Salah satu contoh konkret pembangunan hukum ini adalah dibentuknya UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memuat mekanisme praperadilan. Dari norma ini, Nallom melakukan kajian mendalam dengan memperbandingkan penerapan norma hukum ini yang serupa dengan beberapa negara.
Dikaui oleh Nallom, pada akhirnya apabila KUHAP diubah, maka ada beberapa hal yang harus dievaluasi agar sejalan dengan hak konstitusional warga negara, mulai dari batas waktu status tersangka bagi yang ditetapkan sebagai tersangka, perlindungan hak-hak tersangka dalam penyidikan tindak pidana, hingga mekanisme hukum dimulainya kembali suatu proses penyidikan terhadap objek perkara dan tersangka yang sama dalam suatu perkara pidana.
Usai menyajikan materi, diskusi dilanjutkan dengan penyampaian beberapa poin tanggapan dari penanggap yang hadir secara daring pada aplikasi forum disksui jarak jauh yang telah ditentukan pihak penyelenggara kegiatan. Tidak lupa pada diskusi ini juga dibuka sesi tanya jawab bagi para peserta diskusi, baik yang hadir secara daring maupun luring.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari
https://youtu.be/3nb-TGOFn1Y