JAKARTA, HUMAS MKRI - Demi menjamin agar kekayaan alam yang dikuasai negara digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka sudah saatnya badan usaha milik negara diprioritaskan untuk mengusahakan mineral dan batubara tanpa membatasi peran serta sektor swasta. Karena sektor swasta khususnya pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) telah diberi konsesi penambangan sedemikian lama dan luas, maka sudah saatnya badan usaha milik negara ditugasi oleh negara untuk mengusahakan mineral dan batubara di wilayah pencadangan negara (WPN).
Demikian diungkapkan oleh Sonny Keraf selaku Ahli yang dihadirkan Helvis dan Muhammad Kholid Syeirazi, Pemohon perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020. Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) ini digelar pada Selasa (8/12/2020). Sidang keenam yang digelar MK ini diselenggarakan untuk tiga perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020, Nomor 60/PUU-XVIII/2020, dan Nomor 64/PUU-XVIII/2020.
Baca Juga:
MK Gelar Tiga Perkara Pengujian UU Pertambangan Mineral dan Batubara
Tiga Perkara UU Minerba Perbaiki Permohonan
Lebih lanjut, Sonny menguraikan, amanat Pasal 169 huruf b bahwa KK dan PKP2B disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, hal mana dipertahankan juga dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 harus dipahami dalam niat mulia yang sama untuk membatasi luas wilayah dan masa konsesi KK dan PKP2B, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan juga dipertahankan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Sejatinya di balik pembatasan ini, sambung Sonny, ada pesan ideologis dan konstitusional yang sangat luas. Salah satunya adalah sila kelima Pancasila dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
Atas dasar ideologis ini, penguasaan sumber daya mineral dan batubara perlu diatur penguasaannya agar tidak menumpuk pada segelintir pelaku usaha guna demi menjamin keadilan, termasuk asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, dan berkeadilan.
“Atas dasar ideologis Pancasila dan amanat konstitusi ini, maka penguasaan sumberdaya mineral dan batu bara diatur penguasaannya agar tidak menumpuk pada segelintir pelaku usaha demi menjamin keadilan tadi, termasuk asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan. Maka masa konsesi dan luasan wilayah penambangan memang harus dibatasi agar tidak hanya diuasai oleh segelintir pelaku pertambangan mineral dan batu bara,” terang Sonny.
Baca Juga:
UU Pertambangan Mineral dan Batubara Digugat
Pemohon Uji UU Minerba Perbaiki Permohonan
Menurut Sonny, pembatasan tersebut akan berdampak positif dalam mengubah struktur dan postur ekonomi nasional, khususnya di bidang penguasaan mineral dan batubara yang sangat oligopolistik. Mengingat usaha ini masih dikuasai segelintir pelaku usaha yang sesungguhnya bertentangan dengan asas keadilan, yang dapat saja menimbulkan keresahan sosial politik secara nasional.
“Karena itu, sangat tidak adil dan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 apabila para pemegang KK dan PKP2B yang telah berpuluh tahun diberi konsesi, justru diberi keistimewaan dengan luas wilayah pertambangan seluas wilayah kontrak atau perjanjian sebagaimana diindikasikan oleh Pasal 169A ayat (2) huruf b UU Minerba. Maka, sangat jelas jika Pasal 169A UU Minerba ini harus dibatalkan demi konstitusi,” terang Sonny dalam persidangan yang dilakukan secara jarak jauh.
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Anwar Usman menginformasikan kepada para pihak bahwa MK akan menghadapi sidang penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) Serentak Tahun 2020. Oleh karena itu maka untuk penundaan sidang Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020, 60/PUUXVIII/2020, dan 64/PUU-XVIII/2020, terutama untuk mendengar keterangan ahli dan saksi dari Perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020 akan diberitahukan lebih lanjut melalui Kepaniteraan MK.
Baca Juga:
Sidang Uji UU Minerba: DPR dan DPD Berhalangan, Pemerintah Minta Penundaan
Sebagai informasi, permohonan Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Kurniawan, perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai peneliti di Organisasi Sinergi Kawal BUMN yang fokus mengawasi dan menyikapi serta memberikan masukan kepada BUMN yang bergerak di bidang Minerba. Menurut Pemohon, substansi materi UU Minerba berisi tentang ketentuan-ketentuan norma yang mengatur hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam. Hal ini berarti keikutsertaan DPD RI dalam membahas Rancangan Undang-Undang Minerba adalah suatu amanat konstitusi yang tidak bisa diabaikan karena menyangkut hadirnya kedaulatan rakyat yang telah diberikan kepada DPD RI melalui Pemilu untuk mewakili kepentingan daerah atas pembentukan UU Minerba. Pemohon selaku Pemilih dalam Pemilu serta sebagai peneliti yang fokus di bidang pertambangan telah mengalami kerugian konstitusional karena tidak dilibatkannya DPD RI dalam proses pembentukan UU tersebut.
Baca Juga:
Pemerintah: Perubahan UU Minerba Dilakukan Guna Memperbaiki Kontribusi Sektor Pertambangan
Adapun Perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Alirman Sori dan tujuh Pemohon lainnya. Para Pemohon merupakan pihak yang dirugikan hak konstitusionalnya karena pembahasan undang-undang a quo yang dilakukan secara eksklusif dan tertutup dengan tanpa mengindahkan prinsip keterbukaan dan transparansi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan DPD padahal sesuai dengan konstitusi, DPD mempunyai kewenangan membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.
Baca Juga:
Ahli: UU Minerba Cacat Formil
Sementara itu, permohonan perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Helvis, seorang advokat sekaligus purnawirawan TNI, dan Muhammad Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU). Para Pemohon mempersoalkan pasal yang disisipkan dalam UU Minerba, yaitu Pasal 169A yang secara umum mengatur perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Helvis dan Kholid berpandangan Pasal 169A UU Minerba memberikan peran yang terlalu besar kepada Menteri dan mengesampingkan peran pemerintah daerah. Menurut para Pemohon, pasal tersebut memperlihatkan pembentuk undang-undang tidak berpihak kepada organ negara, dalam hal ini BUMN dan BUMD. Sebaliknya, pasal tersebut malah mengatur pemberian perpanjangan IUPK kepada pihak selain BUMN dan BUMD.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.
https://youtu.be/RyNdWdhpSkE