JAKARTA, HUMAS MKRI - Corona virus disease 2019 (Covid-19) telah menjadi fenomena dunia dalam tempo beberapa bulan terakhir ini. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020. Perppu Nomor 1 Tahun 2020 harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya, bukan masa sidang yang sama dengan terbitnya perppu.
“Pengesahan perppu a quo tidak hanya menimbulkan kesan terburu-buru, tapi juga telah melanggar konstitusi,“ kata Mustafa Fakhri saat menyampaikan keterangan secara virtual dalam sidang yang digelar di MK pada Senin (7/12/2020).
Mustafa bertindak selaku ahli yang dihadirkan Pemohon perkara Nomor 45/PUU-XVIII/2020 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Lepas dari segala kontroversi, lanjut Mustafa, pada persinggungannya perppu a quo pun telah bertransformasi menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Dengan demikian, undang-undang ini secara materiil pun ternyata juga menyimpan potensi pelanggaran yang dapat menganggu praktik ketatanegaraan di Indonesia. Adapun materi muatan yang dianggap berpotensi melanggar konstitusi RI ini setidaknya didapat pada Pasal 12, Pasal 27, dan Pasal 28 UU a quo.
Mustafa berpandangan, UU tersebut berpotensi mengembalikan absolute power dalam pembentukan UU yang dilakukan oleh Presiden. Pasal 12 UU No. 2 Tahun 2020 telah memberikan ruang pada Presiden untuk dapat mengeluarkan APBN hanya dengan perpres. Sehingga hal ini sama saja dengan menghilangkan checks and balances yang sangat esensial dalam kehidupan demokrasi. Meski demikian, tentu akan membuat celah pada Presiden untuk dapat bertindak absolut dalam menentukan anggaran keuangan negara tanpa ada concern dari rakyat melalui DPR. Padahal, salah satu gagasan besar dari tercetusnya gerakan reformasi 22 tahun silam adalah perlawanan terhadap absolutisme eksekutif. “Karenanya agak unik jika DPR justru mengikhlaskan kewenangan yang sangat esensial dalam kehidupan demokrasi ini,” lanjut Mustafa dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Kemudian, Pasal 27 UU No. 2 Tahun 2020 yang menjadikan sejumlah pengawasan konstitusional yang dilakukan oleh DPR maupun kewenangan lembaga yudisial dalam menyidangkan perkara terkait dengan penyimpangan yang mungkin dilakukan oleh pejabat publik dalam penanganan Covid-19 menjadi hilang. Pasal 27 dinyatakan kurang lebih dinilai memberikan imunitas atau kekebalan hukum pada semua pihak yang disebutkan dalam UU No. 2 Tahun 2020, termasuk juga pengguna anggaran. Bahkan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil menurut UU No. 2 Tahun 2020 bukanlah merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada PTUN. Hal ini tentu tidak sesuai dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sekaligus juga merupakan pelanggaran terhadap prinsip rule of law dimana equality before the law menjadi salah satu elemen penting di dalamnya.
Selain itu, Ia mengatakan, perubahan pada UU keuangan negara dan UU MD3 yang berdampak cukup serius karena seperti berupaya menegaskan hal-hal yang berupaya meniadakan keterlibatan DPR dalam pembuatan APBN. Perubahan APBN 2020 menurut perppu ini hanya diatur melalui perpres dan ini sudah dieksekusi melalui terbitnya Perpres Nomor 64 Tahun 2020, padahal APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang dalam kata lain ada partisipasi rakyat di dalamnya yang dilakukan oleh DPR. Selain itu, pembentukan APBN juga telah diatur secara tegas dalam undang-undang di dalam Pasal 23 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, pasal ini secara tidak langsung telah meniadakan kehadiran rakyat sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini.
Pada kesempatan yang sama, Said Didu selaku ahli yang dihadirkan oleh Pemohon perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 mengatakan UU No. 2 Tahun 2020 melanggar UUD 1945 karena sudah menghilangkan hak budget DPR, hak budget yang sangat esensial DPR dan DPD, hak untuk rakyat untuk mengetahui penggunaan uangnya. Selain itu, melanggar UUD 1945 karena telah menciptakan hak imunitas kepada penyelenggara negara. Menurut Said, UU tersebut juga menghilangkan hak evaluasi terhadap APBN tiap tahun, sehingga dalam perppu tersebut sudah di-bypass bahwa defisit anggaran yang harusnya dibayar dan dibahas setiap tahunnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, pembentukan UU tersebut tidak memenuhi kaidah kegentingan yang memaksa. “Jadi, sebenarnya alasan mendesak bahwa tidak ada waktu untuk melakukan itu, saya pikir kurang pas karena pernah dipraktikkan, bisa dilakukan. Tambah lagi sekarang dengan sistem mekanisme Zoom seperti sekarang, itu jauh lebih efektif dibanding yang lain. Jadi, alasan itu saya pikir kurang pas digunakan, “ ujar Said.
Kemudian, sambung Said, tidak terdapat uraian jelas tentang mengatasi Pandemi Covid-19. Menurutnya, dalam perppu itu dan dalam praktiknya, yang lebih banyak dipraktikkan adalah bagaimana ekonomi diperbaiki, bukan mengatasi Covid-19. Bahkan dengan terbuka, Pemerintah tidak konsisten menggunakan UU Karantina untuk melakukan pencegahan Covid-19.
Baca Juga…
Sejumlah LSM dan Peneliti Menguji UU Covid-19
Pemohon Uji UU Covid-19 Pertegas Argumentasi Permohonan
Guratan Tanda Tangan Mencurigakan dalam Uji UU Covid-19
Dana Desa Ditunda, Dua Kepala Desa Gugat UU Covid-19
Sri Mulyani: UU Penanganan Covid Justru untuk Melindungi Masyarakat
Abdul Chair Ramadhan: UU Penanganan Covid-19 Menyalahi Sistem Hukum Pidana
Saksi: Rumah Sakit Rujukan Covid-19 Minim Fasilitas
Ahli Pemohon: UU Penanganan Covid-19 Salahi Pembentukan Peraturan UU
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.
https://youtu.be/2GXu7Ba75v4