JAKARTA, HUMAS MKRI - Hukum acara adalah hukum yang sangat fundamental bagi advokat dalam memperjuang kan hak-hak klien. Tanpa menguasainya, advokat tidak akan bisa berbuat apa-apa dalam membantu para pencari keadilan. Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo saat menjadi narasumber dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat Fakultas Hukum Universitas Andalas (PKPA FH Unand) pada Jumat (4/12/2020) secara daring dari Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada kegiatan ini, Suhartoyo memaparkan materi berjudul “Beracara di Mahkamah Konstitusi” dengan memfokuskan pembahasan pada pengujian undang-undang (PUU). Kewenangan ini menjadi salah satu kewenangan MK yang diamanatkan UUD 1945. Terkait dengan kewenangan PUU ini, Suhartoyo mengatakan terdapat dua mekanisme, yakni pengujian undang-undang secara formil dan materil. Jika pada pengujian formil yang diujikan adalah prosedur tata cara dalam pembuatan suatu norma oleh pembuat undang-undang, sedangkan materil adalah terkait dengan substansi dari norma.
“Namun, di MK Pemohon dapat mengajukan salah satunya dan/atau secara bersama-sama atas keduanya. Dengan catatan bahwa pengajuan formil memiliki batas waktu yakni 45 hari sejak undang-undang itu diundangkan dalam lembaran negara,” jelas Suhartoyo pada kegiatan yang dimoderatori oleh Dosen FH Unand Beni Kharisma Arrasuli dari Padang.
Berikutnya Suhartoyo menjelaskan bahwa salah satu perbedaan mendasar dari MK dengan pengadilan lainnya di Indonesia adalah berhubungan dengan keberadaan kuasa Pemohon. Penting bagi calon advokat memahami bahwa terhadap dirinya terdapat kesempatan untuk menjadi kuasa hukum, walaupun sejatinya beracara di MK tidaklah harus menyandang gelar advokat.
“Ini karakterstik yang agak berbeda antara MK dan MA atau peradilan di bawahnya yang mengharuskan advokat. Meskipun demikian, dalam tataran empirik yang beracara di MK rata-rata adalah advokat karena dipandang menguasai hukum acara,” ungkap hakim konstitusi yang telah memulai karier di bidang hukum sejak 1986.
Selanjutnya Suhartoyo membahas mengenai syarat anggapan adanya kerugian konstitsional dari Pemohon yang mengajukan PUU, di antaranya adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945, kerugian konstitusional tersebut dapat bersifat spesifik dan aktual atau sekurang-kurangnya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian yang dimaksud dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujiannya.
Berikutnya, Suhartoyo juga menyampaikan tata cara pengajuan permohonan di MK, baik secara langsung dengan datang ke MK atau dengan pengajuan secara online melalui laman resmi MK yang dapat diakses kapan saja dan di mana saja oleh Pemohon. Kemudian ia juga menerangkan tahap-tahap persidangan di MK, yang dimulai dari sidang pendahuluan, sidang perbaikan permohonan, sidang pemeriksaan, hingga pada sidang putusan.
Kemudian, Suhartoyo bahwa karakteristik lainnya dari persidangan perkara di MK adalah adanya Sidang Pendahuluan, yang di dalamnya terdapat pemberian nasihat oleh hakim panel terhadap Pemohon yang mengajukan perkara. Sehingga Pemohon tidak perlu khawatir apabila permohonannya tidak ideal karena pada esensinya setiap perkara mempunyai sifat yang berbeda-beda. Dalam sidang pendahuluan ini, jelas Suhrtoyo, akan diberikan nasihat pada bagian-bagian yang kurang dari permohonan untuk dilengkapi atau lebih dijelaskan perihal materi permohonannya.
“Kenapa ada sidang pendahuluan? Karena dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 merupakan permohonan yang tidak ada unsur kepentingan antarpihak dan tidak ada pihak lawan. Sehingga MK melalui hakim panel dapat memberikan nasihat karena tidak akan ada pihak yang akan keberatan akan catatan perbaikan yang disampaikan dalam persidangan tersebut,” kata hakim konstitusi yang pernah menjabat sebagai Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar Periode 2013.
Pada akhir paparan, Suhartoyo memperjelas ketentuan Amar Putusan MK yakni apabila permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (NO) , artinya permohonan yang diajukan tersebut tidak memenuhi syarat formal dari pengajuan pengujian undang-undang. Sedangkan apabila permohonan Pemohon dinyatakan dikabulkan untuk seluruhnya/sebagian, berarti permohonan tersebut telah memenuhi syarat namun secara substansial hanya memenuhi menurut hukum secara sebagian/seluruhnya.
“Terakhir, apabila permohonan dinyatakan dikabulkan secara bersyarat maka ini adalah salah satu karakter putusan MK yang akan susah ditemukan di peradilan umum. Karena sifatnya bisa pemberlakuan dari norma tersebut pada akhirnya bersyarat atau pemberlakukannya dilakukan penundaan,” tutup Suhartoyo. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari