JAKARTA, HUMAS MKRI – Hari kedua Bimbingan Teknis Hukum Acara Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Tahun 2020 Bagi Pasangan Calon Kepala Daerah diisi dengan penyajian materi dari beberapa narasumber. Hadir Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto dan Hakim Konsitusi Wahiduddin Adams menyampaikan materi “Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Tahun 2020”.
Aswanto mengungkapkan, tidak tertutup kemungkinan bahwa para pasangan calon kepala daerah bisa menempati posisi Pihak Pemohon atau Pihak Terkait. Meskipun biasanya kuasa Pihak Terkait dan kuasa Pihak Termohon hubungannya lebih dekat. “Seringkali kami temui bahwa keterangan-keterangan yang disampaikan Pihak Terkait, copy paste dari keterangan Pihak Termohon. Mudah-mudahan ini tidak terjadi lagi karena sesuai Peraturan Mahkamah Kostitusi, kami tidak hanya ingin memberikan keadilan yang prosedural tapi juga keadilan yang substantif,” jelas Aswanto.
Selanjutnya Aswanto menanggapi Pasal 158 UU Pilkada yang mendapat respons suara-suara sumbang dari sejumlah pihak, bahwa MK menegasikan pasal tersebut. “Kami menegaskan bahwa MK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya akan konsisten pada apa yang telah ditentukan dalam undang-undang untuk sengketa hasil pilpres, pileg maupun pilkada. Sementara pegangan kami dalam pengujian undang-undang adalah Konstitusi,” urai Aswanto.
Berkembangnya perdebatan mengenai Pasal 158 UU Pilkada, diakui Aswanto, karena ada pergeseran sedikit mengenai Pasal 158 tersebut. Kalau pada Pilkada sebelumnya, Pemohon yang memenuhi syarat Pasal 158 akan melanjutkan ke sidang pendahuluan, sidang pemeriksaan hingga sidang pengucapan putusan. Namun pada Pilkada 2020 ada pergeseran mengenai Pasal 158. Karena Mahkamah menganggap bahwa objek sengketa pilkada adalah soal hasil perolehan suara. Mahkamah tidak memeriksa Pasal 158 UU Pilkada di depan, namun penegakannya di akhir.
Dalam PMK No. 6 Tahun 2020, ungkap Aswanto, kecenderungan penyelesaian Pasal 158 UU Pilkada pada akhir perkara. Artinya, Pasal 158 tetap kita patuhi, tetapi harus menggali dulu informasi, mencari bukti-bukti, memperoleh keterangan mengenai angka yang ditentukan KPU berdasarkan Pasal 158 UU Pilkada itu memang ditentukan sesuai dengan yang sebenarnya.
Hukum Acara PHPKada
Sementara Wahiduddin menyampaikan dasar hukum tata beracara penyelesaian hasil pilkada di MK, antara lain UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 6/2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Juga ada Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 6 Tahun 2020 sebagai penyempurnaan dari PMK No. 5 Tahun 2020. Penyempurnaan PMK No. 6 Tahun 2020, antara lain mengenai kewenangan mengakreditasi pemantau pemilu dilakukan oleh KPU, sebagaimana diatur dalam Pasal 124 UU No. 10 Tahun 2016. Sebelumnya, PMK No. 5 Tahun 2020 mengatur kewenangan mengakreditasi pemantau pemilu dilakukan oleh Bawaslu.
Berikutnya, Wahiduddin menjelaskan yang dimaksud peserta pemilihan kepala daerah adalah pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, pasangan calon bupati dan wakil bupati, pasangan calon walikota dan wakil walikota. “Kalau terjadi perselisihan, yang menjadi objeknya adalah Keputusan Termohon sebagai penyelenggara pemilihan. Dalam hal ini KPU Pusat, KPU Provinsi, KPU maupun KIP yang ada di Aceh. Keputusan Termohon berupa penetapan tentang perolehan suara hasil pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang signifikan dapat memengaruhi penetapan calon terpilih,” kata Wahiduddin.
Kemudian yang dimaksud para pihak dalam pilkada, kata Wahiduddin, terdiri atas Pemohon yaitu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, pasangan calon bupati dan wakil bupati, pasangan calon walikota dan wakil walikota yang merasa keberatan dengan hasil penetapan perolehan suara oleh KPU. Pemantau pemilihan dapat menjadi Pemohon yang terdaftar dan memperoleh akreditasi dari KPU. Pihak berperkara lainnya adalah Termohon (KPU), Pemberi Keterangan (Bawaslu) dan Pihak Terkait sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, pasangan calon bupati dan wakil bupati, pasangan calon walikota dan wakil walikota yang meraih suara terbanyak dalam pemilihan.
Tahapan Perselisihan Pilkada
Panitera MK Muhidin menyajikan materi “Mekanisme dan Tahapan, Kegiatan, Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020” pada sesi kedua. Mengawali pertemuan, Muhidin mengutip teori dari Henry B. Mayo mengenai “Nilai-Nilai Demokrasi” yang terdiri atas menyelesaikan pertentangan-pertentangan secara damai yang dilembagakan; menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah; menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur; membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum; mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat yang terjamin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku; menjamin tegaknya keadilan.
Selanjutnya, Muhidin menyinggung tahapan penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Serentak Tahun 2020 yang dimulai dengan pengajuan permohonan Pemohon, kemudian melengkapi dan memperbaiki permohonan Pemohon. “Setelah itu melakukan pemeriksaan kelengkapan dan perbaikan permohonan Pemohon,” ucap Muhidin.
Setelah itu, kata Muhidin, dilakukan pengumuman hasil pemeriksaan kelengkapan dan perbaikan permohonan Pemohon, berlanjut dengan pencatatan permohonan Pemohon dalam e-BRPK. Kemudian melakukan penyampaian salinan permohonan kepada Termohon dan Bawaslu. Lalu, pengajuan permohonan sebagai Pihak Terkait dan pemberitahuan sidang kepada para pihak. Tahapan berikutnya, melakukan pemeriksaan pendahuluan, sidang pembuktian dan Rapat Permusyawaratan Hakim. Hingga akhirnya dilakukan pengucapan putusan/ketetapan serta penyerahan dan penyampaian salinan putusan/ketetapan.
Mengenai mekanisme pengajuan permohonan Perselisihan Hasil Pilkada Tahun 2020 dilakukan setelah pengumuman keputusan KPU tentang hasil penghitungan suara pemilihan pada 16-26 Desember 2020 (provinsi) dan 13-23 Desember (kabupaten dan kota). Sedangkan untuk pengajuan permohonan pada 16 Desember 2020-5 Januari 2021 pukul 24.00 WIB (provinsi), pengajuan permohonan pada 13 Desember 2020-5 Januari 2021 pukul 24.00 (kabupaten/kota).
Terkait persidangan MK, terdiri dari sidang pemeriksaan pendahuluan, sidang pembuktian dan sidang pengucapan putusan yang terbuka untuk umum. Di samping itu jadwal hari sidang Mahkamah dapat diketahui dan diakses melalui laman Mahkamah. Persidangan dengan kehadiran para pihak, saksi, dan ahli di ruang sidang Gedung Mahkamah dan/atau dapat melalui persidangan jarak jauh dengan fasilitas video conference dan/atau media elektronik lainnya. Pemohon, Termohon, Pihak Terkait, dan/atau Bawaslu, Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota yang akan melakukan persidangan jarak jauh, permohonan persidangan jarak jauh disampaikan kepada Mahkamah paling lambat dua hari sebelum pelaksanaan sidang.
Diberikan Konstitusi dan Limitatif
Sementara itu, Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono Soeroso menyampaikan materi “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI”. Secara gamblang, Fajar menerangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang langsung diberikan Konstitusi dan bersifat limitatif. Pertama menguji undang-undang terhadap UUD, dalam kerangka menjaga konstitusionalitas UUD. Sejak MK Republik Indonesia lahir pada 2003 sudah menguji sebanyak lebih dari 3000 perkara. “Inilah kewenangan fitrah dari MK, inti dari kewenangan MK di negara manapun,” ungkap Fajar.
MK juga memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Konstitusi serta berwenang memutus pembubaran parpol. “Kenapa MK diberikan kewenangan memutus pembubaran parpol? Karena MK lahir antara lain untuk memperbaiki carut-marut ketatanegaraan kita dulu. Kita punya sejarah yang tidak terlalu bagus terkait dengan pembubaran parpol. MK diberikan kewenangan memutus pembubaran parpol adalah untuk menjaga supaya parpol tidak bisa lagi dibubarkan secara sewenang-wenang tanpa ada pembuktian di pengadilan atau melalui prosedur hukum. Namun selama 17 tahun MK berdiri, belum pernah ada permohonan pembubaran parpol,” jelas Fajar.
Selain itu, kata Fajar, MK diberi kewenangan memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum. Kewenangan ini sudah dijalankan MK sejak 2004 sampai 2019. Kewenangan MK yang terakhir adalah memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum. Sampai saat ini MK belum pernah menangani perkara terkait dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan perbuatan melanggar hukum. “Di antara lima kewenangan itu tidak ada Konstitusi memberikan kewenangan MK untuk mengadili, memutus perselisihan hasil pilkada,” ucap Fajar.
Fajar melanjutkan, putusan MK terhadap UU Penyelenggara Pemilu pada 2007 menegaskan pilkada adalah rezim pemilu. Namun melalui Putusan MK No. 97 Tahun 2013 menyatakan bahwa pembentuk UU tidak boleh menambah atau mengurangi kewenangan MK yang sudah diberikan secara limitatif oleh Konstitusi. Putusan MK No. 97 itu juga menegaskan yang dimaksud pemilu dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 adalah pemilu yang dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945. Yang disebut pemilu adalah pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD serta Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Tidak disebut adanya pemilihan kepala daerah. Maka MK memutuskan bahwa MK tidak berwenang mengadili perselisihan hasil pilkada.
Namun pada saat MK memutus Perkara 97 itu, ada 9 perkara pilkada yang masih berproses di MK. Kalau serta merta MK melepas kewenangan mengadili perselisihan pilkada, maka 9 perkara perselisihan pilkada akan terkatung-katung. Oleh karena itu dalam putusan Perkara 97 itu MK juga katakan bahwa sebelum pembentuk undang-undang menentukan siapa yang berwenang mengadili perselisihan hasil pilkada, maka 9 perkara itu diselesaikan oleh MK. Selanjutnya melalui UU No. 8/2015 yang diperbarui dengan UU No. 10/2016 ayat (1) menyebutkan hasil perselisihan pilkada diadili oleh badan khusus. Sedangkan ayat (3) menyebutkan perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
Panitera Pengganti MK Rizki Amalia dengan materi “Teknik Penyusunan Permohonan dan Keterangan Pihak Terkait” menjadi sesi terakhir bimtek hari kedua. “Berapa lama permohonan bisa diajukan?” kata Rizki membuka pembicaraan. Dijelaskan Rizki, permohonan diajukan paling lambat tiga hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh Termohon.
Berikutnya, Rizki menyinggung tenggang waktu pengajuan permohonan sebagai Pihak Terkait. Bahwa permohonan diajukan paling lama dua hari kerja setelah permohonan dicatat dalam e-BRPK dan/atau diunggah pada laman Mahkamah. Sedangkan jawaban Termohon, keterangan Pihak Terkait, keterangan Bawaslu disampaikan kepada Mahkamah pada pemeriksaan persidangan.
Rizki juga menyampaikan bahwa sistematika permohonan Pemohon meliputi identitas Pemohon sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, pasangan calon bupati dan wakil bupati, pasangan calon walikota dan wakil walikota atau pemantau pemilihan. Permohonan juga mencakup Kewenangan Mahkamah Konstitusi, menjelaskan objek dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan yakni Keputusan Termohon mengenai Penetapan Perolehan Suara Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur/Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota yang signifikan dan dapat memengaruhi penetapan calon terpilih. Selain itu menjelaskan kedudukan hukum Pemohon.
Seperti diketahui, MK menyelenggarakan Bimbingan Teknis Hukum Acara Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Tahun 2020 Bagi Pasangan Calon Kepala Daerah pada Senin - Rabu (30/11/2020 – 2/12/2020). Kegiatan yang diikui oleh 312 orang peserta ini diselenggarakan secara daring dari Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Bogor. Para peserta diberikan materi terkait mengenai MK serta kewenangan dan fungsinya; hukum acara MK; hingga praktik membuat permohonan. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari