JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan kuliah umum secara virtual kepada para mahasiswa program Studi Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) pada Sabtu (28/11/2020). Enny memaparkan materi “Sistem Legislasi di Indonesia Pasca Berlakunya UU No. 15 Tahun 2019.”
“Pada kesempatan ini saya ingin mengajak kita semua berpikir lebih kritis lagi terkait dengan legislasi nasional. Karena orang seringkali memahami persoalan legislasi khususnya pembentukan peraturan perundang-undangan dalam konteks teknis sekali. Apakah kemudian membentuk sebuah undang-undang begitu mudahnya berlaku?” ujar Enny melontarkan pertanyaan.
Bukan Tiba-Tiba
Dari pengalaman Enny sebagai pengajar di bidang hukum perundang-undangan serta praktik yang pernah dilakukannya, terkait pembentukan legislasi bukan dilakukan secara tiba-tiba. Kalau hal itu terjadi, menurut Enny, maka tidak akan pernah mencapai tujuan dibentuknya sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Oleh karena itu, dalam setiap proses pembentukan undang-undang ditujukan bagaimana upaya pencapaian dari tujuan negara. Itu sudah pasti, selalu diarahkan ke situ. Hanya kemudian, kalau dalam praktiknya mengalami pergeseran, itu sudah soal lain, misalnya terkait tataran politik hukum. Hal itu soal bagaimana pergulatan politiknya terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan,” urai Enny.
Namun, kembali Enny menegaskan, yang seharusya dipegang secara filosofis bahwa setiap pembentukan legislasi selalu dikaitkan dengan upaya mewujudkan tujuan bernegara. Karena itu, hal-hal semacam itu tidak bisa dijadikan sesuatu yang bersifat formalistis, namun menjadi sesuatu yang niscaya dilakukan, sebagaimana dituangkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
“Jadi harus kemudian diarahkan ke situ. Bagaimana prosesnya untuk mengarahkan hal tersebut, berkaitan dengan tahapan-tahapan dalam mewujudkannya. Dulu kita punya Garis-Garis Besar Haluan Negara. Kalau sekarang kita menggunakan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang di dalamnya terdapat sebuah kerangka bagaimana kita dapat mewujudkannya secara bertahap,” jelas Enny.
Enny melanjutkan, untuk membentuk sebuah undang-undang dalam sistem legislasi sebuah negara harus melihat bangunan hierarki perundang-undangan. Bangunan hierarki undang-undang tidak bersifat formalistis. Sebuah undang-undang ketika sudah tidak sejalan dengan bangunan hierarki perundang-undangan, maka bisa dirontokkan lewat sistem pengujian. Bisa melalui pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Bisa juga melalui pengujian di Mahkamah Agung untuk peraturan di bawah undang-undang. “Tidak formalistis, tetapi harus tercermin dari materi muatan dari peraturan perundang-undangan yang dibentuk itu sendiri,” ucap Enny.
Sebagaimana diketahui, Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kaji Lebih Jauh
Lebih lanjut Enny mengajak para mahasiswa peserta daring mengkaji lebih jauh Pasal 8 UU No. 12/2011 yang berbunyi, “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”
“Pertanyaannya adalah apakah ini merupakan peraturan perundang-undangan secara keseluruhan? Ada penugasan saya kepada para mahasiswa, tolong dicermati, dikaji Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 yang menyebutkan adanya jenis peraturan yang lain selain yang ada dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011,” ujar Enny.
Enny mengajak mahasiswa berpikir kritis mengenai kewenangan MPR, apakah MPR dapat mengeluarkan produk yang namanya peraturan perundang-undangan? Kemudian, apakah DPR dapat mengeluarkan produk yang namanya peraturan perundang-undangan di luar undang-undang? Demikian pula DPD, apakah juga dapat mengeluarkan produk yang namanya peraturan perundang-undangan?
“Coba Anda sebagai mahasiswa mengkaji hal tersebut, telisik satu per satu, buatlah makalah tentang hal tersebut. Berkenaan dengan hal itu, Anda dapat melihat Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan merupakan peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum yang dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan,” urai Enny.
Kemudian berdasarkan pengertian yang termaktub dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut, apakah MPR bisa mengeluarkan produk selain yang dimaksudkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 yang merupakan jenis peraturan perundang-undangan?
“Anda harus melihat dari fungsi, tugas dan wewenang MPR. Apakah ada fungsi, tugas dan wewenang MPR yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan? Apakah DPR dapat mengeluarkan produk yang namanya peraturan perundang-undangan di luar undang-undang yang kemudian berlaku mengikat umum secara terus menerus? Demikian juga DPD,” kata Enny.
Kedudukan Peraturan Menteri
Dalam kuliah umum ini, ada pertanyaan menarik dari salah seorang mahasiswi bernama Ubayana. Hal yang ditanyakan mengenai kedudukan Peraturan Menteri dalam sistem pemerintahan Presidensiil.
Menurut Enny, perubahan UU No. 12 Tahun 2011 tidak sesederhana dalam bentuk undang-undang yang ada yaitu dalam UU No. 15 Tahun 2019. Bahkan banyak pihak yang menginginkan perubahan secara komprehensif UU No. 12 Tahun 2011. Termasuk di dalamnya, Pasal 7 dan Pasal 8. Mengenai Peraturan Menteri. Enny memotivasi penanya melakukan studi untuk melihat apa yang dimaksud dengan Peraturan Menteri. Karena Peraturan Menteri bisa jadi bukan peraturan perundang-undangan, bisa jadi merupakan peraturan kebijakan.
“Bajunya bisa sama, tapi belum tentu dia peraturan perundang-undangan,” terang Enny.
Bagaimana Peraturan Menteri bisa dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan? Ini kita harus cari dari sumber kewenangan pembentukannya. Kalau Menteri sebagai Pembantu Presiden, sumber kewenangan pembentukannya mestinya datangnya dari Presiden yang kemudian menghendaki untuk dibentuknya lebih teknis lagi terkait yang dibuat oleh Presiden itu oleh Menteri.
“Tetapi Anda bisa mencari, ada bermacam produk undang-undang di Indonesia yang memberikan pendelegasian bukan kepada Presiden dalam wujud Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, namun bisa langsung kepada Menteri. Ini menarik, hal yang demikian dibolehkan atau tidak dalam sistem pemerintahan Presidensiil,” ujar Enny memuji Ubayana dan menyarankan agar pertanyaannya dikembangkan menjadi tesis.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
https://youtu.be/3un6qk52H9E