JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pengucapan putusan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). Sidang pengucapan Putusan Nomor 20/PUU-XVIII/2020 tersebut digelar oleh MK pada Rabu (25/11/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan oleh Sunaryo (Pemohon I) yang merupakan Direktur PT. Sentosa Karya Mandiri dan Zarkasi (Pemohon II) Direktur PT. Asfi Langgeng Abadi yang menguji Pasal 5 huruf d dan Pasal 54 ayat (1) huruf b UU PPMI.
“Amar putusan, mengadili, dalam provisi Menolak permohonan provisi para Pemohon. Dalam Pokok Permohonan, Menyatakan permohonan para Pemohon sepanjang mengenai Pasal 5 huruf d Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia tidak dapat diterima dan Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya,” demikian disampaikan oleh ketua MK Anwar Usman dalam pengucapan putusan dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 54 ayat (1) huruf b UU PPMI pernah diajukan pengujiannya melalui Permohonan Perkara Nomor 83/PUU-XVII/2019. Dalam permohonan tersebut, Pasal 54 ayat (1) huruf b UU PPMI diuji dengan dasar pengujian Pasal 33 ayat (4) , Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Alasan yang didalilkan dalam Perkara Nomor 83/PUU-XVII/2019 pada pokoknya bahwa syarat menyetor uang kepada bank pemerintah dalam bentuk deposito paling sedikit Rp1,5 miliar yang sewaktu-waktu dapat dicairkan sebagai jaminan untuk memenuhi kewajiban dalam pelindungan PMI, akan menutup peluang suatu entitas untuk menjalankan aktivitas ekonomi atau bisnis. Apalagi persyaratan tersebut harus dipenuhi dalam waktu yang relatif singkat sedangkan peraturan pelaksanaannya tidak menjelaskan kedudukan perusahaan penempatan PMI yang sudah ada sebelum UU PPMI diundangkan. Terhadap hal tersebut, Pemohon pada perkara 83/PUU-XVII/2019 memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b UU PPMI tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “… b. menyetor uang kepada Bank BUMN dalam bentuk deposito paling sedikit Rp1,5 miliar yang sewaktu-waktu dapat dicairkan sebagai jaminan untuk memenuhi kewajiban dalam pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Enny menyebut terkait permohonan Pemohon dan permohonan Perkara Nomor 83/PUU-XVII/2019, meski menguji Pasal 54 ayat (1) huruf b UU PPMI, namun permohonan tersebut didasarkan pada dasar pengujian serta alasan yang berbeda. Terhadap hal tersebut, permohonan para Pemohon memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 PMK 06/PMK/2005, dengan demikian selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon berkenaan dengan norma a quo.
“Selain itu, MK juga berpendapat bahwa permasalahan yang dikemukakan para Pemohon tersebut sesungguhnya adalah meminta agar setoran uang dalam bentuk deposito seharusnya ditafsirkan dalam bentuk Jaminan Bank, dan bank pemerintah ditafsirkan menjadi “Bank Manapun”. Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya, mengemukakakn latar belakang filosofis dari syarat tersebut yang juga dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 83/PUU-XVII/2019, sehingga, pasal a quo tidak ada persoalan konstitusionalitas norma,” terang Enny.
Baca juga: Menyoal Syarat Kepesertaan Jaminan Sosial Peserta Migran
Timbulkan Ketidakpastian Hukum
Berkenaan dengan petitum para Pemohon mengenai bentuk penyetoran yang seharusnya dapat berbentuk bank garansi di bank manapun, Enny menuturkan menurut Mahkamah, apabila hal tersebut dikabulkan justru potensial menciptakan ketidakpastian hukum dan sekaligus berpotensi mengurangi peran pemerintah dalam menciptakan akuntabilitas dan bonafiditas dari P3MI yang bertanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan para pekerja migran. Tentunya, lanjut Enny, tanpa kepastian hukum dan bonafiditas tersebut, akan menimbulkan keraguan mengenai profesionalitas P3MI dan dalam jangka panjang justru membahayakan keselamatan pekerja migran.
“Menurut Mahkamah, karena sifat pekerjaan dan usaha dari P3MI yang bersifat lintas negara, penggunaan bank pemerintah adalah pilihan yang tepat, karena tidak semua bank, atau dalam diksi para Pemohon “Bank Manapun” dapat memberikan jaminan bonafiditas perusahaan, apalagi untuk kepentingan PMI yang berada di negara lain. Terlebih terhadap bank pemerintah terdapat jaminan keamanan dan kemudahan akses dalam memberikan pelayanan dan perlindungan kepada PMI,” tandas Enny.
Sebelumnya, para Pemohon merasa sangat dirugikan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 huruf d dan Pasal 54 ayat (1) huruf b UndangUndang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia sehingga menjadikan kebijakan pemerintah tersebut menjadi diskriminatif bagi pemohon dan merugikan hak-hak konstitusional pemohon. Bahkan kedua pemohon Zarkasi dan Sunaryo telah mendapatkan surat pencabutan izin akan tetapi dicabut melalui surat Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2020 tentang Pencabutan izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia PT Sentosa Karya Mandiri dan pecabutan PT. Asfi Langgeng Abadi, meskipun legalitas perusahaan masih ada, namun adanya pencabutan izin tersebut menjadikan perusahaan tidak lagi dapat menjalankan kegiatan usaha sebagai Perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (P3MI) sebagaimana mestinya.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: M. Halim