Apakah Myanmar akan menjadi lebih demokratis dan menghorlnati hak-hak asasi manusia setelah-referendum konstitusi baru, 10 Mei mendatang?
Selama ini masyarakat dunia melihat bahwa kebebasan sipil, kebebasan berpolitik, dan penegakan hak asasi manusia kurang mendapat tempat sewajarnya. Masyarakat internasional, termasuk PBB, sudah berkali-kali mengimbau, meminta, dan mendesak junta militer yang berkuasa di negeri itu sejak 1962 agar bersedia mengendurkan cengkeraman kuku kekuasaannya.
Akan tetapi, hal itu tidak memberikan basil. Tokoh oposisi Aung Sang Suu Kyi, penerima Hadiah Nobel Perdamaian 1991 dan pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi, tetap dipasung hak-hak sipil dan politiknya.
Bahkan, akhir tahun lalu, polisi dan militer menindak tegas para biksu dan rakyat biasa yang menggelar aksi damai menentang junta. Melihat korban tewas dan luka berjatuhan, masyarakat dunia prihatin, tetapi tidak dapat berbuat banyak, sama seperti yang sekarang terjadi di Tibet. Bahkan, ASEANâMyanmar adalah salah satu anggotanya juga tidak mampu berbuat banyak.
Memang, Myanmar pada akhirnya memberikan isyarat akan mengadakan perubahan. Pemilu multipartai akan dilaksanakan tahun 2010. Namun, kalangan oposisi melihat, pemilu itu pun tak akan menjamin benar-benar ditegakkannya demokrasi. Oleh karena sistem politik yang berlaku di negeri itu tetap memberikan peluang besar bagi berperan besarnya militer.
Rancangan konstitusi baru yang diumumkan beberapa hari lalu bahkan diragukan akan mengubah Myanmar secara fundamental. Sebab, rancangan konstitusi adalah rancangan para jenderal serta tidak melibatkan partisipasi kelompok oposisi prodemokrasi.
Selain disusun para jenderal, juga menjamin posisi yang kuat bagi militer. Militer dijamin menduduki berbagai jabatan penting di lembaga-lembaga negara. Militer dijamin mendapat jatah 56 kursi di majelis rendah parlemen yang beranggotakan 224 orang dan 110 kursi di majelis tinggi yang beranggotakan 440 orang.
Konstitusi baru juga menghalangi Suu Kyi menduduki jabatan politik karena ada ketentuan orang yang kawin dengan orang asing dilarang menduduki jabatan politik. Aung San Suu Kyi pernah bersuamikan orang Inggris.
Wajar kalau banyak pihak ragu akan niat Myanmar untuk berubah. Akan tetapi, kita berharap pada akhirnya para penguasa di Myanmar makin menyadari kenyataan bahwa mereka tidak akan bisa selamanya membelenggu kebebasan sipil, kebebasan politik rakyatnya. Tuntutan zaman akan memaksa negeri itu berubah seturut gerak perkembangan dunia.
sumber: HU Kompas / Jumat, April 2008
foto: http://eldib.files.wordpress.com/2007/10/myanmar.jpg