JAKARTA, HUMAS MKRI – Permohonan uji materiil aturan mengundurkan diri bagi Anggota DPR, DPD, DPRD kala mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan Nomor 22/PUU-XVIII/2020 ini dibacakan dalam sidang pengucapan putusan yang digelar pada Rabu (25/11/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Dalam Provisi, menolak permohonan provisi para Pemohon. Dalam Pokok Permohonan, (1) Menyatakan permohonan Pemohon IV tidak dapat diterima; (2) Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya.
Baca juga: Hendak Maju dalam Pilkada, Anggota Dewan Uji Ketentuan Pengunduran Diri
Sebelumnya, Pemohon Perkara Nomor ini adalah Anwar Hafid yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) selaku Pemohon I, Arkadius Dt. Intan Bano yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat selaku Pemohon II. Darman Sahladi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Barat (Pemohon III) serta Mohammad Taufan Daeng Malino seorang wirausaha. Para pemohon menguji Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada.
Bukan Rumpun Jabatan Politik
Dalam Pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Pemohon mendalilkan bahwa jabatan anggota dewan merupakan rumpun jabatan politik seperti halnya menteri. Terkait hal tersebut, sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XI/2013, Mahkamah menilai meski jabatan menteri sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon berada dalam rumpun jabatan politik, namun eksistensi posisi menteri tergantung pada Presiden dan bukan jabatan yang dipilih oleh rakyat (elected official). Berbeda dengan menteri, jabatan anggota legislatif adalah merupakan jabatan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan (elected official). Dengan demikian, meski sama-sama berada dalam rumpun jabatan politik, sebagaimana didalilkan para Pemohon, namun dalam banyak hal terdapat perbedaan di antara kedua jabatan dimaksud.
“Artinya, menggunakan dalil rumpun jabatan sebagai alasan sehingga anggota legislatif yang akan mencalonkan atau dicalonkan dalam pemilihan kepala daerah tidak perlu mengundurkan diri menjadi tidak relevan. Apalagi, jabatan menteri bukan jabatan politik yang harus bertanggung jawab kepada pemilih (konstituen) sebagaimana pertanggungjawaban anggota lembaga legislatif sebagai elected official yang tidak boleh terputus karena hendak menggapai jabatan lain. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, alasan para Pemohon yang menghendaki dipersamakan perlakuan antara anggota legislatif dengan menteri yang tidak dipersyaratkan mengundurkan diri apabila mencalonkan atau dicalonkan dalam pemilihan kepala daerah adalah tidak beralasan menurut hukum,” urai Saldi.
Baca juga: DPR Tegaskan Perlunya Pembedaan Mekanisme Pengunduran Diri Bagi Calon Peserta Pilkada
Dalil Pemohon Diskriminatif
Kemudian, dalil para Pemohon menyebut syarat “mengundurkan diri” dapat diterapkan hanya pada jabatan alat kelengkapan dewan tanpa perlu melepaskan jabatan anggota legislatif. Menanggapi dalil tersebut, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tersebut, justru mengabaikan prinsip keadilan dan kesamaan setiap orang yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015, tanggal 8 Juli 2015 yang dipertegas kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-XV/2017 memberikan kesempatan yang sama untuk semua rumpun jabatan politik ketika akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah maka harus mengundurkan diri ketika telah ditetapkan sebagai calon yang memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP.
“Oleh karenanya, ketika para Pemohon menginginkan hanya diterapkan pada jabatan alat kelengkapan dewan tanpa perlu melepaskan jabatan anggota legislatif justru hal tersebut merupakan tindakan yang diskriminatif, karena memperlakukan berbeda untuk hal yang sama yaitu mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” terang Saldi.
Baca juga:Ahli: Tidak Ada Ketentuan Calon Kepala Daerah Harus Mengundurkan Diri
Selain itu, Mahkamah juga berpendapat, bahwa para Pemohon tidak dalam keadaan yang spesifik untuk diberlakukan affirmative action karena posisi para Pemohon bukan orang atau kelompok orang yang mengalami peminggiran, ketertinggalan, pengucilan, pembatasan, pembedaan, kesenjangan partisipasi dalam politik dan kehidupan publik yang bersumber dari ketimpangan struktural dan sosio-kultural masyarakat secara terus-menerus (diskriminasi), baik formal maupun informal, dalam lingkup publik maupun privat. Selain itu, frasa “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus” dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 harus dibaca sebagai satu-kesatuan dan frasa tersebut sama sekali tidak boleh dilepaskan dari frasa “untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
“Dengan cara membaca yang demikian, semakin jelas tidak ada suatu keadaan yang spesifik pun yang dapat membenarkan para Pemohon untuk berlindung di balik alasan konstitusional sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945,” ujar Saldi.
Baca juga: Kewajiban Mengundurkan Diri Bagi Calon Peserta Pilkada Tidak Halangi Hak Politik
Pertimbangan Tidak Berubah
Menurut Mahkamah, lanjut Saldi, secara prinsip dalil-dalil para Pemohon tidaklah jauh berbeda dengan permohonan-permohonan sebelumnya yang telah pernah diputus sebelumnya. Mahkamah perlu menegaskan kembali norma Pasal 7 ayat (2) huruf s UU 10/2016 yang dimohonkan oleh para Pemohon merupakan pelaksanaan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015, sehingga Mahkamah merasa perlu menyatakan dan sekaligus menegaskan kembali bahwa tidak relevan lagi untuk mempersoalkan norma a quo. Selain itu, Mahkamah tidak memiliki alasan yang mendasar untuk berubah atau bergeser dari pertimbangan dan pendapat hukum putusan-putusan Mahkamah sebelumnya.
“Sehingga, Mahkamah Menolak permohonan provisi para Pemohon dan permohonan Pemohon IV tidak dapat diterima serta Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” tandas Saldi.
Sebelumnya, Pemohon yang terdiri dari Anwar Hafid yang merupakan anggota DPR RI dan Arkadius Dt. Intan Baso merupakan anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat. Para Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 7 ayat 2 huruf s UU Pilkada yang mengatur mengenai kewajiban pengunduran diri bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD jika hendak mencalonkan diri dalam Pilkada. Pemohon menilai secara konseptual anggota DPR, DPD, DPRD dan jabatan kepala daerah merupakan satu kesatuan rumpun jabatan yaitu "jabatan politik" sehingga anggota legislatif yang berkeinginan atau mendapatkan amanah dari rakyat untuk mencalonkan diri dalam jabatan kepala daerah seharusnya tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Fitri Yuliana