JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan penarikan kembali permohonan yang diajukan oleh Sidik, Rivaldi, dan Erwin Edison terkait pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Sidang Pengucapan Ketetapan Nomor 66/PUU-XVII/2019 ini digelar pada Rabu (25/11/2020) dengan dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
“Menetapkan, mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon, menyatakan Permohonan Nomor 66/PUU-XVII/2019 ditarik kembali, menyatakan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo,” ucap Anwar pada sidang yang dihadiri para pihak secara virtual oleh para Pemohon dari kediaman masing-masing.
Baca juga: Tiga Advokat Persoalkan Perubahan Ketiga UU MD3
Lebih jelas Anwar membacakan bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah menggelar Sidang Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan tersebut pada 11 November 2019. Dalam Sidang Panel tersebut para hakim telah memberikan nasihat agar para Pemohon memperbaiki permohonan. Pada 25 November 2019, MK telah menyelenggarakan Sidang Panel dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan dan mengesahkan alat bukti. Pada 8 Januari 2020, Mahkamah telah menyelenggarakan Sidang Pleno dengan agenda pemeriksaan persidangan untuk mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden yang dihadiri oleh para Pemohon dan kuasa Presiden.
Baca juga: DPR dan Pemerintah Belum Siap, MK Tunda Sidang Uji UU MD3
Dalam persidangan tersebut DPR menyampaikan secara tertulis dan Presiden menyampaikan secara langsung di depan persidangan yang pada pokoknya menyatakan DPR dan Presiden belum siap menyampaikan keterangan. Sehingga memohon kepada Mahkamah agar memberikan kesempatan kepada DPR dan Presiden untuk menyampaikan keterangan pada sidang berikutnya. Pada 22 Januari 2020 Mahkamah kembali menyelenggarakan Sidang Pleno dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden. Namun pada 3 November 2020, Mahkamah melalui Kepaniteraan menerima surat dari para Pemohon yang menyatakan menarik kembali permohonannya.
“Terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut dan sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MK dan berdasarkan Rapat Permusyawaratan Hakim pada 4 November 2020 telah menetapkan penarikan kembali permohonan adalah beralasan menurut hukum dan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo serta memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan para Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon,” jelas Anwar dari Ruang Sidang Pleno MK.
Baca juga: Pemerintah Pertanyakan Kedudukan Hukum Pemohon Uji UU MD3
Sebagai informasi, para Pemohon menyatakan kerugian konstitusionalnya lebih menitikberatkan pada mandat yang diberikan oleh warga negara perorangan kepada DPR agar melaksanakan tugasnya secara adil, jujur, dan bertanggung jawab untuk kepentingan rakyat. Kerugian konstitusional dalam pengujian formil terbukti ada apabila Pemohon merasa DPR tidak melaksanakan fiduciary duty yang telah diamanatkan oleh rakyat secara adil, jujur dan bertanggung jawab. Berkenaan dengan hal tersebut, Pemohon menyampaikan bahwa Pemohon telah menggunakan hak pilihnya untuk memilih anggota DPR dalam pemilihan umum.
Terkait uji formil undang-undang yang dipersoalkan Pemohon, Pemohon berpandangan bahwa UUD 1945 tidak mengatur lebih lanjut selain dari keharusan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Jika semata-mata pembentukan undang-undang diuji formalitasnya berdasarkan UUD 1945, tentunya semua undang-undang yang telah disetujui oleh DPR dan Presiden tidak akan pernah bertentangan dengan UUD 1945. Apabila demikian, Pemohon menilai tidak akan pernah ada pengujian formil atas suatu undang-undang karena faktanya, setiap undang-undang yang telah diundangkan selalu memperoleh persetujuan dari kedua lembaga negara tersebut.
Selain itu, Pemohon juga mengatakan UU Perubahan Ketiga UU MD3 dibentuk dengan melanggar prosedur dan tata cara sebagaimana telah ditentukan dan diatur dalam Tatib DPR. Rancangan UU Perubahan Ketiga UU MD3 tidak dimuat dalam Prolegnas 2015-2019 maupun Prolegnas Prioritas 2019. Di samping itu, para Pemohon juga berargumen UU MD3 ini tidak didukung oleh naskah akademik yang mumpuni secara sosiologis dan filosofis. Dengan demikian, Perubahan Ketiga UU MD3 tersebut tidak memenuhi asas-asas pembentukan perundang-undangan atau cacat prosedur. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Raisa Ayudhita