JAKARTA, HUMAS MKRI – Permohonan uji materiil aturan mengenai usia pensiun dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) tidak dapat diterima.
“Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” demikian disampaikan oleh Ketua MK Anwar Usman membacakan Putusan Nomor 68/PUU-XVIII/2020. Sidang pembacaan putusan tersebut digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (25/11/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
Baca juga: Serikat Pekerja PLN Uji Aturan Usia Pensiun Pegawai
Permohonan ini diajukan oleh Eko Sumantri dan Sarwono selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) Indonesia. Para Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 154 huruf c UU Ketenagakerjaan yang dinilai melanggar hak konstitusional mereka.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah mengungkapkan Presiden Republik Indonesia mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Dalam UU Cipta Kerja tersebut menghapus beberapa ketentuan dari beberapa undang-undang, di antaranya Pasal 81 UU Cipta Kerja yang menghapus Pasal 154 UU Ketenagakerjaan—pasal yang diuji oleh para Pemohon. Menurut Mahkamah, terkait penghapusan tersebut, maka norma yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon sudah tidak lagi diatur dalam UU yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon. Hal demikian berakibat permohonan para Pemohon telah kehilangan objek.
“Oleh karena itu, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena permohonan para Pemohon kehilangan objek, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan para Pemohon lebih lanjut,” tandas Saldi.
Baca juga: Penguji Aturan Usia Pensiun Pegawai Perbaiki Kedudukan Hukum
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan Pasal 154 huruf c UU Ketenagakerjaan menimbulkan multitafsir dalam menentukan usia pensiun bagi pekerja/buruh. Pasal 154 huruf c UU Ketenagakerjaan menyatakan, “Penetapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal: (c). Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan.”
Menurut para Pemohon, berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 2010-2012 beserta perubahannya antara serikat pekerja PT. PLN (Persero) dengan PT. PLN (Persero), usia pensiun seorang pekerja terdapat perbedaan aturan antara pekerja satu dengan pekerja yang lainnya. Sebagian pekerja pensiun di usia 46 tahun dan sebagian lagi pensiun di usia 56 tahun. Hal tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 15 Surat Keputusan Direksi PT. PLN (Persero) Nomor 1337.K/DIR/2011 tentang Perubahan atas Keputusan Direksi PT. PLN (Persero) Nomor 379.K/DIR/2010 tentang Human Capital Management System, sedangkan berdasarkan UU 40/2004 pada Pasal 39 secara jelas menyebutkan “Usia pensiun ditetapkan menurut ketentuan perundang-undangan.”
Padahal, usia pensiun secara tegas tertuang di dalam Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun yang merupakan Petunjuk Pelaksanaan Pasal 41 ayat (8) dan Pasal 42 ayat (2) UU 40/2004, yang menyatakan: PP No. 45/2015: Pasal 15 ayat (1): “untuk pertama kali usia pensiun ditetapkan 56 (lima puluh enam) tahun.” Kemudian, Pasal 15 ayat (2) yang menyatakan bahwa mulai 1 Januari 2019, usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi 57 (lima puluh tujuh) tahun.
Para Pemohon mengatakan karena terdapat perbedaan usia pensiun pegawai PT. PLN (Persero) yang termaktub di dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Tahun 2010-2012 PT. PLN (Persero), surat Keputusan Direksi PT. PLN (Persero), dan peraturan perundang-undangan, sehingga hal ini menimbulkan diskriminasi terhadap usia pensiun di antara para pegawai. Oleh karena alasan tersebut, Pemohon meminta MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 154 huruf c UU Ketenagakerjaan, sepanjang frasa “perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama” dihapuskan atau tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: M. Halim