JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak permohonan yang diajukan oleh Asosiasi Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (ASPATAKI) untuk seluruhnya dalam pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). Sidang Pengucapan Putusan Nomor 83/PUU-XVII/2019 ini digelar pada Rabu (25/11/2020) di Ruang Sidang Pleno MK dengan dihadiri para pihak melalui persidangan jarak jauh.
Dalam permohonan, Pemohon mendalilkan Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU PPMI bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap hal ini, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dalam pertimbangan hukum Mahkamah menyebutkan norma yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dengan menaikkan modal yang disetor dan deposito setoran ke bank pemerintah adalah bagian dari upaya memberikan jaminan kualifikasi dan krediblitas P3MI sebagai pelaksana penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Baca Juga:
Modal yang Harus Disetor P3MI Dinilai Memberatkan
Pemohon Uji UU PPMI Perbaiki Permohonan
MK Tunda Sidang Pengujian UU Pelindungan Pekerja Migran
Kenaikan modal yang disetor dan setoran deposito sebagaimana diatur dalam pasal a quo, sambung Manahan,adalah suatu hal yang harus dilakukan seiring berubahnya nilai mata uang. Namun sasaran utama dari hal ini tidak lain sebagai upaya untuk meningkatkan muruah PMI sebagai mitra Pemerintah dalam pelaksanaan penempatan PMI.
Mahkamah juga melihat keterkaitannya dengan upaya Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) untuk mendapatkan SIP3MI. P3MI yang mendapatkan izin tidak hanya harus profesional dan bonafide, tetapi juga memiliki komitmen yang sungguh-sungguh untuk menjaga serta menjamin hak-hak asasi warga negara yang bekerja di luar negeri, agar tetap terlindungi sebagaimana amanat Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945.
Perlindungan terhadap PMI
Selain itu, menurut Mahkamah dengan adanya syarat dalam Pasal 54 UU a quo dimaksudkan sebagai upaya mencegah pendirian P3MI yang tidak bersungguh-sungguh. Terlebih lagi, jika dikaitkan dengan objek usaha penempatan PMI adalah manusia dengan segala harkat dan martabatnya, maka persyaratan tersebut merupakan bentuk lain dari upaya perlindungan terhadap PMI. Lebih lanjut, Manahan membacakan bahwa adanya syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 54 UU PPMI bukan saja dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, tetapi juga menjadi suatu kepastian berusaha dan perlindungan hukum bagi P3MI, mitra P3MI, calon PMI dan/atau PMI, maupun pemerintah. Karena semua bagian tersebut, saling terkait dan sama-sama bertanggung jawab dalam rangka perlindungan PMI secara komprehensif.
Baca Juga:
DPR: ASPATAKI Bukan Subjek UU PPMI
Tujuan UU PPMI Lindungi Pekerja Migran Indonesia
“Tidak terdapat hubungan sebab akibat antara modal disetor dan setoran deposito dengan “asas kebersamaan” bagi P3MI dan PMI sebagaimana didalilkan oleh Pemohon karena ketentuan pasal a quo mengatur mengenai syarat yang harus dipenuhi oleh setiap P3MI yang ingin mengirimkan PMI ke luar negeri. Menurut Mahkamah, penegasan tentang asas kebersamaan dalam Pasal 33 ayat (4) juga harus selalu disandingkan dengan “efisiensi berkeadilan” yang menunjukkan keberpihakan pada keselarasan menuju kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan bukan kesejahteraan orang-seorang saja,” sebut Manahan.
Bank Pemerintah
Berikutnya terkait dengan nomenklatur “Bank Pemerintah” yang diatur dalam pasal
a quo yang juga dipermasalahkan oleh Pemohon. Mahkamah menyatakan bahwa ketentuan tersebut tidak terkait dengan permasalahan konstitusionalitas norma. Ditambah pula Pemohon tidak menjelaskan secara spesifik kerugian yang dialami akibat adanya penggunaan istilah bank pemerintah tersebut. Di samping itu, ketentuan pasal yang dimohonkan pengujiannya ini merupakan aturan yang bersifat umum yang berlaku bagi semua P3MI dan syarat tersebut bersifat fleksibel.
Baca Juga:
Ahli: Negara Jangan Menempatkan P3MI Seperti Musuh
Saksi: Agar Izin Usaha Tak Dicabut, P3MI Harus Setor Tambahan Deposito 1 Milyar
Selain itu, Mahkamah juga berpendapat bahwa ketentuan pasal a quo juga telah sejalan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Ketentuan besaran modal disetor dan setoran deposito bagi P3MI ini, merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang. Sehingga menurut Mahkamah pilihan kebijakan untuk menaikkan modal disetor dan setoran deposito dengan jumlah tertentu tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak pula merupakan penyalahgunaan kewenangan, dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, lanjut Manahan, pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah.
Pendapat Berbeda
Empat dari sembilan Hakim Konstitusi memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan ini. Empat hakim dimaksud yakni Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Hakim Konstitusi Suhartoyo, Hakim Konstitusi Aswanto, dan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Empat Hakim Konstitusi berbeda pendapat perihal pokok permohonan yang menyangkut norma dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a UU PPMI. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam uraian dissenting opinion menyebutkan ketentuan mengenai modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian P3MI pada prinsipnya tidak dapat dilepaskan dari pengaturan mengenai perseroan terbatas (PT). Perusahaan yang dimaksud merupakan badan usaha berbadan hukum yang didirikan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan PMI.
Baca Juga:
Migrant Care Hadirkan Tiga Ahli Terkait Uji UU PPMI
Kisah Pilu Tiga Pekerja Migran Bersaksi di Persidangan
Bertolak dari ketentuan tersebut penting untuk dijelaskan terlebih dahulu makna modal disetor berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), yang merupakan bagian dari struktur modal perseroan yang terdiri atas modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Besaran jumlah modal tersebut, sambung Enny, harus dituangkan dalam anggaran dasar perusahaan yang diajukan sebagai salah satu persyaratan pengesahan badan hukum Perseroan Terbatas (PT) dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Untuk menentukan besaran modal disetor tersebut juga harus didasarkan pada modal dasar suatu perseroan, yang pada prinsipnya merupakan total jumlah saham yang dapat diterbitkan oleh perseroan terbatas yang bersangkutan.
“Dengan demikian keberadaan modal disetor tidak dapat dilepaskan dari modal dasar suatu perseroan dan jika suatu perseroan akan melakukan pengurangan modal disetor, maka konsekuensinya harus dilakukan terlebih dahulu perubahan anggaran dasar,” jelas Enny.
Baca Juga:
Komnas Perempuan: UU PPMI Terobosan Hukum Anti Perdagangan Manusia
Kesaksian Pekerja Migran: Pekerjaan Acapkali Tak Sesuai Kontrak Kerja
Terkait dengan modal perseroan ini, Enny mengungkapkan bahwa Pemohon dalam kualifikasinya merupakan badan hukum privat yang didirikan berdasarkan ketentuan UU 39/2004 dan peraturan pelaksananya telah memenuhi persyaratan sebagai badan hukum PT. Artinya, sebagai badan hukum PT, Pemohon telah memenuhi ketentuan berdirinya suatu perseroan dengan ketentuan modal disetor. Dalam perjalanannya, modal disetor tersebut dapat saja dilakukan perubahan sepanjang disepakati oleh pemilik perseroan yang tentunya harus dituangkan dalam anggaran dasar karena berkaitan dengan modal dasar perseroan. Apabila modal semakin besar maka semakin menunjukkan bonafiditas perseroan itu sendiri. Ditambah pula, ketentuan UU PT membolehkan besaran modal dasar perseroan di luar yang telah ditentukan dalam norma tersebut.
Tanpa mengurangi upaya negara memberikan perlindungan semaksimal mungkin bagi PMI ini, Enny mencermati bahwa adanya ketentuan persyaratan modal disetor suatu perseroan untuk mendapatkan SIP3MI dalam batas penalaran yang wajar, tidaklah dikenakan untuk perseroan yang telah didirikan sesuai dengan UU PT. “Artinya, ketentuan perubahan modal disetor tersebut seharusnya diberlakukan atau diperuntukkan bagi perseroan yang baru didirikan dan kegiatan usahanya untuk melaksanakan kegiatan penempatan PMI,” jelas Enny.
Sebagaimana diketahui, dalam pengujian UU PPMI ini Pemohon mendalilkan keberadaan pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b UU PPMI yakni tentang adanya frasa “bank pemerintah” dan jumlah Rp 5 milyar sebagai modal yang disetor serta jumlah 1.5 milyar rupiah dalam deposito yang harus sudah disetorkan oleh P3MI. Uang sejumlah 5 milyar rupiah tersebut bukanlah jumlah yang dapat dijangkau oleh setiap entitas termasuk P3MI. Menurut Pemohon, penerapan kewajiban bagi P3MI untuk memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan paling sedikit 5 milyar rupiah sangat jelas memberikan perlakuan yang tidak adil. Sementara dalam ketentuan Pasal 32 UU PT hanya menentukan minimal Rp 50 juta. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan atas ketentuan hukum yang mana yang harus lebih dahulu dijalankan dalam penempatan pekerja migran Indonesia.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.