JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh di Provinsi Jambi (UU Pembentukan Kota Sungai Penuh) tidak dapat diterima. Putusan Nomor 3/PUU-XVIII/2019 dibacakan dalam sidang pengucapan putusan yang digelar pada Rabu (25/11/2020). Dalam permohonan perkara yang teregistrasi Nomor 3/PUU-XVIII/2020 ini, para Pemohon mendalilkan Pasal 13 ayat (1), ayat (3), ayat (5), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) UU Pembentukan Kota Sungai Penuh bertentangan dengan UUD 1945.
“Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” demikian konklusi dana mar putusan yang diucapkan oleh Ketua MK Anwar Usman.
Baca juga: Terdampak Pemekaran, Sejumlah PNS Gugat UU Pembentukan Kota Sungai Penuh
Melalui pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menguraikan bahwa Pemohon I. Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, dan Pemohon IX adalah perseorangan warga negara Indonesia. Sementara Pemohon IV dan Pemohon V adalah mantan anggota DPRD Kabupaten Kerinci Periode 2014-2019. Berikutnya Pemohon VIII adalah Ketua DPD KNPI Daerah Kerinci Periode 2019- 2022, namun tidak dalam kapasitas mewakili organisasi. Sedangkan Pemohon IX, adalah pelaku sejarah dalam pelepasan aset. Akan tetapi, karena substansi permohonan a quo berkaitan dengan persoalan penyerahan aset daerah dan dana alokasi khusus daerah, maka Mahkamah menilai hal ini menjadi urusan pemerintahan daerah dan bukan langsung berkenaan dengan persoalan kerugian hak konstitusional perseorangan warga negara.
“Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah melalui Putusan Nomor 70/PUU-XII/2014 bertanggal 6 November 2014 telah menetapkan untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang yang mewakili kepentingan daerah di hadapan Mahkamah haruslah pemerintahan daerah. Dengan demikian Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, dan Pemohon IX, meskipun menganggap dirinya memiliki kepedulian terhadap Kabupetan Kerinci, namun tetap tidak dapat mewakili Kabupaten Kerinci. Oleh karenanya menurut Mahkamah, para Pmeohon tidak mengalami kerugian hak konstitusional sehingga tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo” jelas Enny dalam sidang yang diikuti para pihal secara virtual.
Baca juga: Penyerahan Aset Kabupaten Kerinci ke Kota Sungai Penuh Telah Dilakukan Secara Bertahap
Permasalahan Kedudukan Hukum
Berikutnya, berkaitan dengan kedudukan hukum para Pemohon, Enny menyebutkan bahwa dalam Sidang Pendahuluan pada 16 Januari 2020, Panel Hakim sudah memberikan nasihat agar pihaknya mempertegas kedudukan hukum para Pemohon. Selanjutnya pada sidang perbaikan permohonan, para Pemohon hanya menambahkan Bupati Kabupaten Kerinci sebagai Pemohon X dan Ketua DPRD Kabupaten Kerinci sebagai Pemohon XI dan dua orang Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kerinci masing-masing sebagai Pemohon XII dan Pemohon XIII. Namun para Pemohon tambahan ini ditempatkan sebagai subjek hukum yang terpisah dan bukan sebagai satu kesatuan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kerinci.
Demikian juga dalam surat kuasa yang dibuat terpisah dengan Surat Kuasa Khusus untuk Pemohon XI sampai dengan Pemohon XIII. Meskipun surat kuasa yang demikian tidak salah, Mahkamah berpendapat seharusnya Bupati dan DPRD dalam permohonan ini harus terepresentasi sebagai subjek hukum dalam satu Pemohon. “Maka apabila Pemerintahan Daerah Kabupaten Kerinci yang mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang ke Mahkamah, khusus untuk DPRD harus dibuktikan berdasarkan hasil Rapat Paripurna DPRD yang menyetujui pengajuan permohonan pengujian UU 25/2008 ke Mahkamah,” terang Enny.
Baca juga: Gubernur Jambi: Pemisahan Aset Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh Sesuai UU
Selanjutnya sehubungan dengan kedudukan para Pemohon ini, para Pemohon mengajukan bukti berupa Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Kerinci bersama-sama dengan Bupati Kabupaten Kerinci. Namun Enny menyayangkan karena Rapat Paripurna tersebut diadakan pada 18 Maret 2020, saat Persidangan Pleno Pemeriksaan Permohonan Pemohon sudah dilaksanakan. Terhadap bukti tersebut, Mahkamah dengan berpedoman pada Putusan MK Nomor 24/PUUXVI/2018 menguatkan kembali pendiriannya untuk mengajukan permohonan pengujian norma yang berkaitan dengan hak dan kewenangan daerah, DPRD harus mendapatkan persetujuan dalam Rapat Paripurna sebelum permohonan diajukan ke MK.
“Oleh karenanya Mahkamah tidak mempertimbangkan bukti yang dimaksud. Dengan demikian, Pemohon X, Pemohon XI, Pemohon XII dan Pemohon XIII tidak dapat dikatakan sebagai bersama-sama mengajukan permohonan a quo sebagai satu kesatuan pemerintahan daerah sehingga tidak dapat dikualifikasikan sebagai pemerintahan daerah. Terlebih lagi para Pemohon tidak dapat menyertakan bukti adanya Rapat Paripurna DPRD yang dilakukan sebelum diajukannya permohonan ke Mahkamah. Sehingga Mahkamah berpendapat Pemohon X, Pemohon XI, Pemohon XII dan Pemohon XIII tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” kata Enny.
Sesuai Peraturan
Sementara terkait pokok permohonan mengenai aset Kabupaten Kerinci yang dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota Sungai Penuh, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebut hal itu bukan merupakan persoalan yang muncul setelah UU 25/2008 diberlakukan. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menyebut proses penyerahan aset Kabupaten Kerinci telah dilakukan sebagaimana amanat UU 32/2004 dan PP 78/2007. Oleh karenanya sesuai dengan amanat Pasal 13 ayat (3) UU 25/2008 penyerahan aset dan dokumen Kabupaten Kerinci dilakukan paling lambat lima tahun sejak pelantikan penjabat Walikota Sungai Penuh. Tujuannya agar tercapai dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan sehingga segera dapat digunakan pegawai, tanah, gedung perkantoran dan perlengkapannya serta fasilitas pelayanan umum yang telah ada selama ini dalam pelaksanaan tugas pemerintahan Kabupaten Kerinci dalam Wilayah Kota Sungai Penuh.
“Penyerahan aset tersebut adalah merupakan tindakan hukum untuk merealisasikan amanat UU 25/2008 (vide Penjelasan UU 25/2008). Apabila proses yang telah disepakati bersama sebagaimana dituangkan dalam berbagai dokumen yang selanjutnya dinyatakan dalam Penjelasan Umum UU 25/2008, namun tidak direalisasikan oleh Kabupaten Kerinci maka menjadi tanggung jawab Gubernur Jambi sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah untuk menyelesaikannya (vide Pasal 13 ayat (8) UU 25/2008). Dengan demikian proses Pembentukan Kota Sungai Penuh telah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya dalil para Pemohon yang mempersoalkan adanya ketidakpastian hukum merupakan dalil yang tidak berdasar,” papar Saldi.
Sebagai informasi, dalam permohonan ini mempermasalahkan pemekaran Kabupaten Kerinci yang melahirkan daerah otonom baru dalam bentuk kota bernama Kota Sungai Penuh. Sedangkan bagi pemekaran empat kabupaten lainnya di Provinsi Jambi hanya melahirkan daerah otonom baru dalam bentuk kabupaten. Akibat perbedaan dari hasil pemekaran Kabupaten Kerinci ini adalah perpindahan pusat perpindahan ibu kota kabupaten ke desa Bukit Tengah, Kecamatan Siulak. Dengan terbaginya wilayah menjadi dua daerah otonom merupakan konsekuensi logis dari pemekaran dengan batas-batas yang ditetapkan dalam UU Pemekaran. Selain itu, Pemohon menganggap Kabupaten Kerinci dibebani pemindahan ibukota, namun bantuan dana alokasi khusus dari Pemerintah Pusat untuk pembangunan infrastruktur pemerintahan diberikan kepada Kota Sungai Penuh selaku daerah otonomi baru. Padahal kabupaten induk juga tetap membutuhkan dana untuk berbagai pembangunan sarana penunjang di desa Bukit Tengah yang masih minim infrastruktur. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: Lambang S