JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (24/11/2020) siang. Sidang Perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020 dilaksanakan oleh Panel Hakim yang terdiri atas Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams (Ketua), Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul (Anggota), Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh (Anggota).
Salah seorang kuasa Pemohon, Sidik menyampaikan perbaikan permohonan berdasarkan nasihat hakim dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan, antara lain penyebutan pasal dalam UU MK hasil perubahan. Perbaikan berikutnya, uraian tentang putusan-putusan MK yang mengadili ketentuan terkait kewenangan MK juga sudah Pemohon perbaiki dalam bagian tiga mengenai alasan permohonan. Selanjutnya ada perbaikan uraian pada angka II huruf b tentang kepentingan konstitusional Pemohon menjadi kerugian konstitusional Pemohon.
“Kemudian mengenai uraian lebih lanjut kedudukan Pemohon, telah juga Pemohon tambahkan uraian mengenai erga omnes dan permasalahan konstitusional terkait Pasal 87 huruf b dengan menyitir pendapat ahli, sehingga hemat Pemohon akan terlalu berlebihan apabila syarat legal standing mengharuskan hanya hakim konstitusi yang sedang menjabat yang dapat mengajukan permohonan,” ujar Sidik.
Baca Juga:
UU MK Dianggap Tutup Kesempatan Pemohon Jadi Hakim Konstitusi
Untuk diketahui, permohonan perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Priyanto yang berprofesi sebagai advokat. Adapun objek permohonan Priyanto yaitu pengujian materiil Pasal 87 huruf a dan huruf b UU MK terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Pasal 87 huruf a UU MK menyatakan, “Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini.”
Kemudian Pasal 87 huruf b UU MK menyatakan, “Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun.”
Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 87 huruf b UU MK. Pemohon bermaksud untuk menjadi Hakim Konstitusi mengingat Pemohon memenuhi seluruh kualifikasi yang ditentukan dalam Pasal 15 UU MK, antara lain telah berusia 55 tahun, memiliki ijazah Doktor dengan sarjana strata satu di bidang hukum, telah berpengalaman kerja di bidang hukum lebih dari 15 tahun, serta memiliki NPWP.
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 87 huruf b UU MK telah menimbulkan kerugian konstitusional yang nyata terhadap Pemohon sebab Hakim Konstitusi yang tidak memenuhi syarat mengenai batas usia menjadi “dianggap memenuhi” sehingga akan terus menjabat selama keseluruhan masa tugasnya 15 tahun. Jadi, dengan adanya pasal itu tidak akan dilakukan pemilihan ulang terhadap Hakim Konstitusi yang tidak memenuhi persyaratan usia minimal yang ditentukan dalam Pasal 15 UU MK.
Tak hanya bermaksud untuk menjadi Hakim Konstitusi, Pemohon juga berharap menjadi Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Namun menurut Pemohon, Pasal 87 huruf a UU MK secara potensial akan menghalangi hak konstitusional Pemohon untuk memperoleh kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum.
Pemohon memohon kepada MK agar menyatakan ketentuan Pasal 87 huruf b UU MK inkonstitusional bersyarat, dalam arti menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hakim Konstitusi yang sedang menjabat harus telah berusia 55 tahun”. Karena Pasal 15 UU UU MK menyebutkan syarat mengenai usia minimal menjadi Hakim Konstitusi yang semula 47 tahun dan maksimal 65 tahun diubah menjadi minimal 55 tahun tanpa usia maksimal dimana persyaratan itu berlaku sejak 29 September 2020 atau tanggal diundangkannya UU MK.
Menurut Pemohon, seharusnya Pasal 87 huruf b selengkapnya berbunyi, “Hakim Konstitusi yang sedang menjabat pada saat undang-undang ini diundangkan meneruskan jabatannya apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 15 Undang-Undang ini dan mengakhiri tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun”.
Selain itu, Pasal 87 huruf b UU MK yang “menganggap Hakim Konstitusi yang sedang menjabat memenuhi syarat” telah mempermanenkan Hakim Konstitusi yang tidak memenuhi syarat untuk menjalankan jabatannya sampai dengan 15 (lima belas) tahun. Hal ini telah menutup hak konstitusional Pemohon memperoleh kesempatan sama dalam pemerintahan.
“Dengan mempermanenkan hal tersebut, maka tidak akan ada pemilihan ulang untuk mengganti Hakim Konstitusi yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020. Tidak adanya pemilihan ulang itu menutup kesempatan bagi Pemohon untuk dapat mengikuti proses pemilihan Hakim Konstitusi. Oleh karena itu, berlakunya ketentuan Pasal 87 huruf b UU 7/2020 telah merugikan hak konstitusionalitas Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945,” ujar salah seorang kuasa Pemohon, Sidik.
Pemohon juga beranggapan, bunyi Pasal 87 huruf a UU MK bertentangan dengan hak konstitusionalitas Pemohon sesuai dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yaitu hak atas kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum. Oleh karena itu, materi muatan Pasal 87 huruf a UU MK haruslah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Hakim Konstitusi yang sedang menjabat Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi mengakhiri jabatannya sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi apabila Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi telah diangkat berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang ini”.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.