JAKARTA, HUMAS MKRI - Tujuan pembentukan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia termasuk perempuan dalam memperoleh hak bebas dari ancaman kejahatan dan kekerasan seksual. Dalam konstitusi, hak-hak atas rasa aman tersebut dijamin pada Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945. Hak-hak perempuan ini mengamanatkan pada negara untuk menjamin penikmatan hak tanpa adanya diskriminasi dan perbedaan gender. Atas upaya ini, Pemerintah melakukan ratifikasi konvensi internasional dengan menjalankan upaya penghapusan kejahatan dan kekerasan pada perempuan.
Demikian kalimat pembuka yang disampaikan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam kegiatan “Sebelas Maret Law Festival” yang digelar secara virtual pada Sabtu (21/11/2020). Kegiatan yang diselenggarakan oleh Forum Mahasiswa Hukum Indonesia dari Universitas Sebelas Maret (UNS) ini mengangkat tema “Quo Vadis Penegakan HAM dalam Penghapusan Kejahatan Seksual di Indonesia“.
Berkaitan dengan tema ini, Enny mengungkapkan hak terhadap perempuan khususnya berhubungan dengan penghapusan kejahatan seksual sangat penting untuk dilindungi. Karena jaminan ini juga berkaitan dengan perlindungan pada korban kekerasan seksual, di mana korban terbanyak adalah kalangan perempuan dan anak.
“Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, setiap tahun terdapat peningkatan angka kekerasan dan kejahatan yang menimpa kelompok rentan yakni perempuan dan anak,” sebut Enny dalam kegiatan yang juga dihadiri beberapa pemateri, di antaranya Dekan FH UNS Djatmiko Anom, Direktur YLBHI Asfinawati, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, dan Anggota Komisi VII DPR RI Diah Pitaloka.
Peran Konstitusi
Berikutnya Enny menyebutkan, Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga yang melindungi hak konstitusi negara, termasuk hak-hak perempuan. Melalui kewenangannnya, sejak 2003–2020 ini MK telah banyak berkontribusi termasuk perjuangan hak-hak perempuan dalam beberapa putusannya. Salah satunya Putusan Nomor 22/PUU-XV/2017 yang berhubungan dengan batas usia perkawinan.
Usia perkawinan merupakan permasalahan yang banyak mendapatkan respon di Indonesia dan negara lainnya di dunia. Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan telah menimbulkan diskriminasi atas jenis kelamin atau gender yang berdampak terhadap tidak terpenuhinya hak anak perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945. Enny menyebutkan dalam Putusan Nomor 22/PUU-XV/2017 ini MK juga memerintahkan pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan atas norma tersebut demi memberikan kepastian hukum dan mengelliminasi diskrminasi yang ditimbukan oleh ketentuan norma tersebut.
“Putusan ini berimplikasi jika usia 16 tahun tergolong pada perkawinan anak. Dengan demikian, MK memberikan perlindungan karena perempuan diperlakukan berbeda dalam pemenuhan hak konstitusionalnya. Perkawinan anak ini berdampak bagi kesehatan anak karena belum tercipta dan matangnya kesehatan reproduksi anak serta rentannya kekerasan seksual yang dialami anak,” sampai Enny dalam kegiatan yang diikuti delegasi Forum Mahasiswa Hukum Indonesia dari berbagai universitas di Indonesia.
Putusan MK lainnya yang juga berkaitan dengan perlindungan terhadap hak perempuan adalah Putusan Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 mengenai pengujian Undang-Undnag Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Meskipun MK dalam amar putusan menyatakan menolak permohonan, namun Enny mengutarakan bahwa Pasal 1 angka 1 UU Pornografi tersebut bermakna menjunjung tinggi nilai-nilai moral bangsa, melindungi perempuan dan anak dari bahaya pornografi. Secara jelas norma ini tidak melarang pelaku seni, sastra, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan olahraga untuk melakukan hak kostitusionalnya selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial dan susila. Ketentuan ini, jelas Enny, hanya dibatasi pada pelaku yang menunjukkan pengertian pornografi dari berbagai bentuk media dengan mempertunjukkan bukan dalam kerangka seni, sastra, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan olahraga.
“Atas putusan itu, MK punya peran signifikan bagi perlindungan hak asasi manusia. MK tidak akan berdiam diri jika ada ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Maka dapat disimpulkan bahwa negara pada dasarnya telah mendorong jaminan penegakan HAM dan penghapusan kekerasan pada perempuan dan anak dalam berbagai upaya hukumnya,” sampai Enny dalam kegiatan yang ditujukan sebagai sarana berbagi ilmu bagi civitas akademi, baik mahasiswa, dosen, pemerhati hukum, penegak hukum, dan Pemerintah dalam forum diskusi bersama tingkat nasional.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.