JAKARTA, HUMAS MKRI – Beberapa pertanyaan muncul usai Hakim Konstitusi Saldi Isra menyampaikan materi secara daring dalam “Kuliah Pakar Prof. Dr. Saldi Isra, S.H”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat pada Sabtu (21/11/2020). Tema pembahasan diangkat dari buku karya Saldi berjudul “Lembaga Negara, Konsep, Sejarah, Wewenang, dan Dinamika Konstitusional” pada Sabtu (21/11/2020).
“Daulat rakyat dalam sistem ketatanegaraan kita diberikan kepada dua tempat yaitu legislatif dan eksekutif. Daulat rakyat misalnya diberikan kepada DPR, DPD. Daulat rakyat diberikan juga oleh pemilih kepada presiden. Tapi Konstitusi kita memberikan makna itu jauh lebih luas, agar daulat rakyat tidak dimonopoli oleh satu atau dua institusi. Kalau daulat rakyat dimonopoli oleh dua institusi, maka kemudian lembaga negara yang dapat daulat langsung bisa menganggap lebih berkuasa dari yang lainnya,“ ujar Saldi selaku Guru Besar Hukum Tata Negara, Universitas Andalas menjawab pertanyaan salah seorang peserta.
Dalam pengalaman Saldi, lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam Konstitusi, menyelenggarakan pancaran dari daulat rakyat dalam porsi yang berbeda, baik DPR, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan lainnya.
“Karena apa yang dijabarkan Konstitusi bermuara kepada apa yang dimaktubkan dalam pembukaan UUD 1945 untuk mencapai tujuan bernegara. Kalau semua lembaga negara memegang prinsip itu, kalaupun ada perbedaan-perbedaan, maka perbedaan-perbedaan itu lebih pada bagaimana mereka memahami, memikirkan, dan bekerja untuk mewujudkan tujuan bernegara seperti yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945,” jelas Saldi.
Selain itu ada peserta yang menanyakan soal konflik norma antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) dan Undang-Undang tentang MD3. Dijelaskan Saldi, UU Pemda dan UU MD3 merupakan core business Komisi II DPR dan Pemerintah.
“Karena ini ada di komisi yang sama, seharusnya ruang untuk melakukan harmonisasi, sinkronisasi menjadi jauh mudah melakukan. Tapi dalam praktiknya, itu sulit terjadi. Penyelesaian konflik norma bisa diuji ke Mahkamah Konstitusi misalnya,” jelas Saldi.
Dua Kelompok Besar
Sebelumnya, Saldi menyampaikan materi buku berjudul “Lembaga Negara, Konsep, Sejarah, Wewenang, dan Dinamika Konstitusional” yang ditulisnya. Di antaranya, Saldi mengulas pandangan Prof. Jimly Asshiddiqie yang membagi dua kelompok besar berdasarkan hierarkinya. Ada lembaga negara tingkat pusat dan lembaga negara di daerah.
“Lembaga negara tingkat pusat, ada yang dibentuk karena diperintahkan oleh Konstitusi, ada yang dibentuk karena perintah undang-undang dan ada beberapa yang dibentuk karena perintah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Di daerah begitu juga. Ada lembaga negara yang dibentuk karena perintah UUD, ada yang dibentuk karena perintah undang-undang dan ada yang dibentuk karena perintah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,” urai Saldi.
Selain itu, lanjut Saldi, ada juga ahli yang membagi lembaga negara berdasarkan fungsinya. “Lembaga kepresidenan ini fungsinya, lembaga perwakilan ini fungsinya, kekuasaan kehakiman fungsinya apa dan lainnya. Jadi hanya dijelaskan fungsinya. Karena apa? Sebelum perubahan UUD 1945, kita agak terjebak dalam mendefinisikan lembaga negara. Ada lembaga tertinggi negara dan ada lembaga tinggi negara. Dari penyebutannya saja sudah keliru. Harusnya lembaga negara tertinggi, bukan lembaga tertinggi negara, itu beda bahasanya. Karena dulu, MPR diposisikan sebagai lembaga negara tertinggi yang memegang kedaulatan rakyat dan dia adalah segala-galanya. Itu salah satu yang dikoreksi dalam hasil perubahan UUD 1945,” tegas Saldi.
Terlebih saat ini teori-teori lembaga negara berkembang sangat pesat. Ada yang menyebut sebagai lembaga negara independen. Kemudian di Amerika Serikat berkembang teori baru “The New Separation of Powers” dan bahkan teori terbaru “The Newest Separation of Powers”.
Dibandingkan buku-buku lain dengan tema serupa yang berasal dari hasil olah pikir para pakar dan pengkaji hukum tata negara, buku karya Saldi ini berupaya mengambil dan menambahkan sisi lain yang acapkali diabaikan sebagian pakar atau pengkaji hukum tata negara. Sisi lain yang dimaksudkan adalah pelacakan konteks historis lembaga negara yang sebagiannya dipakai memotret wewenang dan dinamika lembaga negara terutama pasca Reformasi Konstitusi pada 1999-2002.
Selain itu, buku karya Saldi ini berupaya menjelaskan sejumlah kewenangan lembaga negara dikaitkan dengan putusan MK. Disadari atau tidak, putusan MK telah memberikan pengaruh atas lembaga negara. MK pernah memutus dan menyatakan wewenang DPR memilih calon hakim agung dari calon yang diusulkan Komisi Yudisial adalah inkonstitusional. Contoh lain, MK memberikan tafsir atas relasi DPR dan DPD dalam proses pembentukan undang-undang. Atau, putusan MK menyatakan pergantian antarwaktu anggota BPK sebagai inkonstitusional. Sebagai bagian dari desain mekanisme checks and balances, putusan MK menghadirkan dinamika konstitusional tersendiri relasi antara lembaga negara.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.