JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian materiil Pasal 87 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) secara virtual pada Kamis (19/11/2020). Permohonan Perkara Nomor 97/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Suhardi dan Linda Yendrawati Puspa yang keduanya berprofesi sebagai advokat. Materi yang diujikan yaitu Pasal 87 UU MK.
Pasal 87 huruf a UU MK yang menyatakan, “Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang;”
Sedangkan Pasal 87 huruf b UU MK menyatakan, “Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat undang-undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut undang-undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun.”
Kedua Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 87 UU MK yang tidak sejalan dengan asas negara hukum dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum, sehingga membuat para Pemohon dirugikan hak-hak konstitusionalnya. Sebagai penegak hukum dan sebagai anak bangsa yang ingin mengabdikan dirinya kepada dunia penegakan hukum, para Pemohon dirugikan dengan berlakunya pasal tersebut.
“Pasal a quo dalam permohonan ini telah menyebabkan hak konstitusional para Pemohon dirugikan atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh UUD 1945 pada Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1),” kata salah seorang kuasa hukum Pemohon, Ferdian Sutanto.
Pasal 87 UU MK tersebut secara aktual telah merugikan para Pemohon karena merasa terganggu keamanan dan kenyamanan hak untuk bekerja dan beraktivitas sebagai advokat dalam menegakkan hukum. Namun demikian, para Pemohon juga menyadari, di satu sisi apabila MK menyatakan Pasal 87 UU MK bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka dapat menyebabkan terjadinya kekosongan hukum (wetsvacuum). Oleh karena itu, untuk mengatasi kekosongan hukum (wetsvacuum) tersebut, para Pemohon memohon kepada MK untuk dapat menafsirkan norma Pasal 87 UU MK agar menjadi konstitusional bersyarat dan memberikan batasan penafsiran agar tidak terjadi pelanggaran hukum lainnya.
Oleh karena itu, untuk menciptakan kepastian hukum yang adil maka para Pemohon memohon agar MK menyatakan Pasal 87 UU 7/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 87 UU MK konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “adanya vit and propertes serta pengawasan dalam kesehatan jasmani dan rohani dilakukan setiap (5) lima tahun sekali, oleh panitia secara objektif yang dibentuk oleh dewan pengawas Mahkamah Konstitusi.
Format Permohonan
Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menasehati para Pemohon agar menyusun permohonan sesuai format permohonan dalam Peraturan MK. “Dalam menguraikan Kewenangan Mahkamah, Saudara masih membuat versi lama dan belum dimasukkan tentang adanya perubahan ketiga UU MK. Padahal dalam posita, sudah menyebut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,” kata Manahan.
Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan para Pemohon agar membuat permohonan yang mudah dipahami. “Buatlah rumusan norma yang akan diuji dan apa yang menjadi dasar uji. Saudara harus membangun argumentasi pertentangan antara norma yang diuji dengan pasal-pasal yang menjadi batu uji. Kemudian posita dan petitum harus nyambung satu sama lain. Kalau permohonan terbangun dengan sistematika yang baik, maka kami akan mudah memahami apa yang diminta para Pemohon,” jelas Enny.
Terakhir, Ketua Panel Hakim Konstitusi Arief Hidayat menasihati agar para Pemohon memperbaiki sebagian besar permohonan. “Kalau permohonan Saudara dibuat seperti ini, maka bisa dikatakan permohonan Saudara tidak jelas atau kabur. Supaya permohonan Saudara bisa masuk ke pokok permohonan, yang paling penting untuk diperbaiki adalah di bagian kedudukan hukum,” tandas Arief.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas : Tiara Agustina